Advokat, Konsultan Hukum, Konsultan HKI, Kurator dan Pengurus WA : 0813.17.906.136

Bagaimana Akibat Hukum Memperdagangkan Barang Palsu/KW

Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek pada Pasal 100,102 dan 103 disebutkan sebagai berikut :

Pasal 100
 
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).


Catatan : Pada Pasal 100 Ayat (1) ini dijelaskan bahwa jika ada orang yang menggunakan merek pihak lain yang sudah terdaftar untuk jenis barang atau jasa yang sama, misalkan suatu merek X yang sudah terdaftar digunakan oleh oknum tertentu untuk menjual barang yang sama misalkan pakaian dengan menggunakan merek X juga. Maka, pihak yang menggunakan merek X untuk produk bajunya ini bisa dikenakan Pasal 100 ini. Karena yang menggunakan merek X tanpa ijin tersebut telah menggunakan merek X pada jenis barang yang sama yaitu pakaian. Lain halnya jika merek X ini digunakan untuk jenis barang yang berbeda misalkan untuk produk elektronik. 



(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Catatan : Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya adalah adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
Sebagai contoh adalah kasus merek DUNKIN’ DONUTS vs DONATS’ DONUTS di Yogyakarta. yaitu dengan adanya persamaan pada pokoknya dalam bentuk tulisan, bentuk huruf dan kombinasi warna (pink dan oranye) antara merek DONAT’s DONUTS yang dipergunakan sebagai nama restoran (merek jasa) dengan bentuk tulisan dan kombinasi warna merek DUNKIN’ DONUTS.
(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt560aad4d30945/arti-persamaan-pada-pokoknya-dalam-uu-merek)


(3) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).


Pasal 102

Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).


Catatan : Pasal 102 ini diperuntukan bagi penjual, namun pasal ini tidak merinci kategori penjual seperti apakah karena pada prakteknya banyak penjual kaki lima juga yang menjual barang-barang bajakan karena desakan ekonomi, sehingga apabila ada pedagang kaki lima yang tertangkap apakah hukuman pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 200.000.000 (dua ratus juta) ini memberikan rasa keadilan ? hendaknya yang patut dikenakan adalah distributor besarnya saja, dan pedagang-pedagang kaki lima diberikan penyadaran tentang tidak bolehnya menjual barang-barang bajakan.


Pasal 103
 
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 102 merupakan delik aduan.




Share:

Jasa Drafting Perjanjian dan Review Perjanjian Perdata

Konsultasihukum24jam menerima jasa drafting perjanjian dan jasa review perjanjian perdata dengan harga yang murah dan terjangkau. Cukup dengan mengirimkan email melalui : konsultasikuhum24jam@gmail.com dan konfirmasi ke WA 0813.17.906.136 konsep perjanjian akan kami buatkan, dan jika pun sudah ada perjanjiannya bisa kita bantu untuk mereviewnya agar bisa diketahui kekurangan dan kelemahannya agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari.
Share:

Jika Mobil atau Motor di Ambil Debt Collector

Apa yang seharusnya dilakukan jika ternyata mobil atau motor anda yang masih anda kredit diambil secara paksa oleh debt collector karena anda telat membayar untuk beberapa bulan ? jika anda mengalaminya silahkan konsultasikan langkah hukumnya dengan kami.
Share:

Makalah Kejahatan Cyber Crime Kasus Pembobolan Kartu Kredit



 Makalah Kejahatan Cyber Crime Kasus Pembobolan Kartu Kredit


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dengan semakin canggihnya teknologi informasi, maka semakin banyak juga kejahatan yang terjadi melalui media siber. Menurut data dari Ditreskrimsus Polda Metro Jaya terdapat 537 kasus kejahatan siber (cyber crime) pada tahun 2016. Kejahatan tersebut antara lain kasus penjualan anak, protistusi dan kejahatan lainnya.
Dalam upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan Cyber Crime ini, POLDA Metro Jaya melakukan patroli siber untuk mencegah kejahatan di dunia maya. Khususnya yang melibatkan anak-anak. (Republika, 3 Juni 2016).[1]
Salah satu kejahatan dalam dunia siber adalah kasus pembobolan kartu kredit, untuk melakukan penelusuran dalam kasus pembobolan kartu kredit ini terkadang Polisi sendiri sangat kesulitan karena sebagaimana dikatakan oleh Kepala Unit Perbankan Direktorat Tindak Pidana Khusus Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisaris Besar Djoko Purbohadijoyo mengatakan Indonesia saat ini sangat minim regulasi untuk mengantisipasi kejahatan seperti ini karena menurutnya adalah dalam upaya untuk menangkap pelaku pembobolan terutama orang asing adalah karena berkaitan dengan kedaulatan negara, walaupun ada kerja sama antar kepolisan. Tapi tetap harus meminta izin jika ingin memproses penjahat di negara lain [2]
Berdasarkan data peringkat pembobolan kartu kredit di Indonesia masih berada pada posisi kedua terendah dibandingkan negara lain di wilayah Asia Pasifik. Sedangkan berdasarkan data Visa, peringkat fraud Indonesia berada pada posisi ketiga terendah dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara.
Data terakhir Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter mencatat, pada bulan Mei 2013 saja, tercatat telah terjadi 1.009 kasus pembobolan (fraud) yang dilaporkan dengan nilai kerugian mencapai Rp 2,37 miliar.[3]

1.1 Tujuan

Adapun tujuan dari Makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap kejaharan siber di bidang pembajakan kartu kredit.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kejahatan Siber

Andi Hamzah dalam bukunya “Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer” (1989) mengartikan cybercrime sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal.

Forester dan Morrison mendefinisikan kejahatan komputer sebagai: aksi kriminal dimana komputer digunakan sebagai senjata utama.

Girasa (2002) mendefinisikan cybercrime sebagai : aksi kejahatan yang menggunakan teknologi komputer sebagai komponen utama.

Tavani (2000) memberikan definisi cybercrime yang lebih menarik, yaitu: kejahatan dimana tindakan kriminal hanya bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi cyber dan terjadi di dunia cyber.

2.2 Contoh Kasus Pembobolan Kartu Kredit

Polda Metro Jaya telah berhasil menangkap empat pelaku pembobolan kartu kredit beromset miliaran rupiah, pada Jumat 20 Juni 2016, bertempat di kantor PT Indosat Ooredo, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Para pelaku sudah melakukan aksi tersebut sejak tahun 2014 dengan jumlah korban mencapai ribuan orang, menurut keterangan Penyidik Unit IV Subdit IV Cyber Crime Ditreskrimsus.
Menurut data yang diperoleh terdapat setidaknya lebih dari 1.600 orang korban dan kerugian sampai dengan 5 miliar rupiah.
Modus yang dilakukan oleh para tersangka, yaitu GS, A, AH dan PSS dengan melakukan pemalsuan identitas KTP untuk mengganti nomor ponsel yang terdaftar di M-Banking para korban, sehingga bisa melakukan transaksi dan membuat kartu kredit dengan data palsu.
Tersangka PSS ditangkap pertama kali di kantor provider saat berniat untuk mengubah nomor ponsel korban.
Dalam kejahatan pembobolan kartu kredit ini terkadang melibatkan orang dalam sebagaimana salah satu pelaku adalah bekerja menjadi marketing bank. Oknum marketing Bank inilah yang kemudian mencuri informasi nasabah untuk melakukan aksi pembobolan kartu kredit. Pihak marketing bank ini mendapatkan data-data nasabah dari usahanya melakukan penawaran di pusat-pusat perbelanjaan.
Dari tangan para pelaku, polisi mendapatkan barang bukti berupa dua unit laptop, 16 telepon seluler, tujuh KTP palsu, dua foto kopi KTP palsu, dan lima kartu telepon seluler. Polisi juga menyita sejumlah kartu ATM dari berbagai bank.

2.3 Tuntutan Pidana Pembobolan Kartu Kredit

Berdasarkan informasi, para pelaku pembobolan kartu keredit tersebut dikenakan pasal berlapis antara lain, Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dengan ancaman penjara enam tahun.
Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) mengatakan bahwa yang diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya.[4]
Selain itu, pelaku juga diancam melanggar Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yakni Pasal 3, 4, dan 5.
Pasal 3 Undang-undang tersebut berisi ancaman penjara 20 tahun dengan denda Rp10 miliar.
Sementara Pasal 4, berisi ancaman penjara 20 tahun dengan denda Rp5 miliar. Sedangkan, Pasal 5 undang-undang itu berisi ancaman penjata 5 tahun dengan denda Rp1 miliar.[5]
Jika melihat kasus diatas, kejahatan pembobolan kartu kredit bisa juga dikenakan Pasal yang terdapat dalam UU No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yaitu Pasal 30 ayat 1, Pasal 36, Pasal 46 ayat 1 dan Pasal 51 ayat 2.[6]
Adapun bunyi dari Pasal 30 ayat 1 UU ITE adalah sebagai berikut :
“Setiap  Orang  dengan  sengaja  dan  tanpa  hak  atau  melawan  hukum  mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun”.
Pasal 36 UU ITE :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  27  sampai  dengan  Pasal  34  yang  mengakibatkan kerugian bagi Orang lain”.
Pasal 46 ayat 1 UU ITE :
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Pasal 51 ayat 2 UU ITE :

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.

Adapun bunyi dari Pasal 35 UU ITE adalah sebagai berikut :

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”.



BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Tindak pidana pembobolan kartu kredit biasanya akan berkaitan dengan pemalsuan dokumen seperti memalsukan KTP serta tidak kejahatan lainnya seperti tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu maka pelaku tindak pidana pembobolan kartu kredit biasanya akan dikenakan Pasal berlapis selain dari Pasal di dalam Undang-Undang ITE.

3.2 SARAN

Dalam memberikan tuntutan Pidana Kejahatan Siber Pembobolan kartu kredit, hendaknya Jaksa memberikan tuntutan pula dengan menggunakan Pasal yang ada di dalam Undang-Undang ITE.


DAFTAR PUSTAKA
Cyber Crime Pembobolan Kartu Kredit dalam http://etikaprofesiteknologiinformasi.blogspot.co.id/p/blog-page_6019.html Diakses pada Jumat, 15 Juli 2016 Pukul 09.11 WIB.

Edan! Pembobol Kartu Kredit Ini Beromzet Miliaran Rupiah diakses dari http://www.arah.com/article/5638/edan-pembobol-kartu-kredit-ini-beromzet-miliaran-rupiah.html http://www.merdeka.com/uang/kasus-kasus-pembobolan-kartu-kredit-yang-menggemparkan.html pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 10.16 WIB

Kasus-kasus pembobolan kartu kredit yang menggemparkan diakses dari http://www.merdeka.com/uang/kasus-kasus-pembobolan-kartu-kredit-yang-menggemparkan.html pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 9.37 WIB
Sudah Ada 537 Kasus Kejahatan Siber Tahun Ini diakses dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/06/03/o872op284-sudah-ada-537-kasus-kejahatan-siber-tahun-ini pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 9.15 WIB
Unsur Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54340fa96fb6c/unsur-pidana-dan-bentuk-pemalsuan-dokumen pada tanggal 15 Juli 2016 pukul 9.27 WIB




[1] Sudah Ada 537 Kasus Kejahatan Siber Tahun Ini diakses dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/06/03/o872op284-sudah-ada-537-kasus-kejahatan-siber-tahun-ini pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 9.15 WIB

[2] Kasus-kasus pembobolan kartu kredit yang menggemparkan diakses dari http://www.merdeka.com/uang/kasus-kasus-pembobolan-kartu-kredit-yang-menggemparkan.html pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 9.37 WIB

[3] Op. cit
[4] Unsur Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54340fa96fb6c/unsur-pidana-dan-bentuk-pemalsuan-dokumen pada tanggal 15 Juli 2016 pukul 9.27 WIB
[6] Cyber Crime Pembobolan Kartu Kredit dalam http://etikaprofesiteknologiinformasi.blogspot.co.id/p/blog-page_6019.html Diakses pada Jumat, 15 Juli 2016 Pukul 09.11 WIB.
Share:

Ketentuan Overmacht dalam Suatu Perikatan Perdata



Dalam membuat suatu perjanjian/perikatan biasanya kita wajib memasukan klausul di dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPer yang berbunyi :



Pasal 1244
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.

Pasal 1245
Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga. Bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Pengertian dari Overmacht :
Overmacht (keadaan memaksa) adalah suatu keadaan dimana debitor tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditor setelah di buatnya persetujuan, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya,dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat yang disebabkan adanya kejadiaan yang berbeda di luar kuasanya. Seperti gempa bumi, banjir dan kecelakaan. Dalam KUHPerdata Overmacht atau keadaan memaksa diatur dalam Buku III pasal 1244 dan 1245.

terdapat 3 unsur yang harus dipenuhi oleh overmacht yakni:
  1. Debitur tidak memenuhi prestasi walaupun telah berusaha secara patut
  2. Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur
  3. Faktor penyebab itu tidak dapat diduga oleh siapapun dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Share:

Apakah Fotocopy Dokumen bisa menjadi alat Bukti di Pengadilan ?

Berdasarkan kepada Pasal 1888 KUH Perdata disebutkan mengenai pengaturan mengenai salinan/fotocopy dari sebuah surat/dokumen, yaitu :
 
“Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya
 
Dalam praktik, Mahkamah Agung juga telah memberikan penegasan atas bukti berupa fotocopy dari surat/dokumen, dengan kaidah hukum sebagai berikut:
 
“Surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti.” (Putusan MA No.: 3609 K/Pdt/1985)
 
Sesuai dengan pendapat dari Mahkamah Agung dalam Putusan MA No. 3609 K/Pdt/1985 tersebut, maka fotocopy dari sebuah surat/dokumen yang tidak pernah dapat ditunjukkan aslinya, tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat menurut Hukum Acara Perdata (Vide: Pasal 1888 KUH Perdata).
 
Jadi, dalam hal tidak dapat ditunjukkannya dokumen asli dari fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, saksi sebagai salah satu alat bukti dapat berfungsi untuk memberikan keterangan kepada hakim, bahwa benar pernah ada suatu kesepakatan yang dibuat secara bawah tangan oleh para pihak yang namanya tercantum dalam fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, untuk memperjanjikan suatu hal tertentu (Vide Pasal 1320 Jo. 1338 KUH Perdata).
 
Argumentasi mengenai hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam Putusannya No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998, yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut:
 
Fotocopy surat tanpa disertai surat/dokumen aslinya dan tanpa dikuatkan oleh Keterangan saksi dan alat bukti lainnya, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam Persidangan Pengadilan (Perdata)

 
Mengenai pertanyaan jumlah minimum saksi untuk membuktikan fotocopy perjanjian di bawah tangan, ada baiknya kita memperhatikan ketentuan Pasal 1905 KUH Perdata, yang berbunyi:
 
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya.”
 
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal tidak adanya bukti lain, selain saksi yang dapat diajukan oleh seseorang untuk menguatkan dalilnya, maka jumlah saksi yang harus diajukan orang tersebut adalah minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis).
 
Namun demikian, dalam praktik, ketentuan mengenai pembuktian dalam perkara perdata tersebut dapat berkembang dan bermanuver. Misalnya dalam hal keberadaan fotocopy dari perjanjian bawah tangan ini ternyata diakui dan tidak disangkal oleh pihak lawan, tentunya hal ini dapat dikualifisir sebagai pengakuan di muka hakim, yang merupakan bukti yang sempurna (Vide: Pasal 176 HIR), atau apakah ada persangkaan (kesimpulan) yang ditarik oleh hakim (Vide: Pasal 173 HIR) dari bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan. 

Sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51ab049c2a0d2/kekuatan-pembuktian-fotokopi-dokumen
Share:

Modal Dasar Untuk Mendirikan UMKM

Berdasarkan UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), modal minimal untuk mendirikan PT adalah Rp50 Juta. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas, modal dasar Perseroan Terbatas tetap minimal Rp50 Juta, tapi untuk UMKM modal dasar ditentukan berdasarkan kesepakatan para pendiri PT yang dituangkan dalam Akta Pendirian PT. (Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57221f10b40fd/catat-ini-kemudahan-ukm-dalam-paket-kebijakan-xii)

Share:

Batasan Antara Wanprestasi dengan Penipuan






Berdasarkan Pasal 378 KUHP yang berbunyi : "Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun."


Unsur-Unsur Perbuatan Penipuan Adalah Sebagai Berikut :

1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)


Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian termasuk wanprestasi atau merupakan sebuah penipuan maka kita harus melihat pada point 3 diatas yaitu Batasan antara Wanprestasi dengan Penipuan yaitu terletak pada "tempus delicti" atau waktu ketika "perjanjian atau kontrak itu ditutup" atau perjanjian/kontrak ditandatangani. Apabila "setelah" (post facatum) kontrak ditutup/ditandatangani diketahui adanya tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu dari salah satu pihak, maka per buatan itu merupakan wanprestasi. Sebaliknya jika kontrak setelah ditutup/ditandatangani ternyata sebelumnya (ante factum) ada tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu itu telah disembunyikan oleh salah satu pihak maka perbuatan itu merupakan penipuan. (Sumber : Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan, Dr. Yahman, S.H, M.H Penerbit Kencana).



Berdasarkan rumusan tersebut, unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
Unsur poin 3 di atas yaitu mengenai upaya/cara adalah unsur utama untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penipuan.
Nah jika pada sebuah perjanjian utang-piutang atau jual-beli, penting diketahui apakah ada niat untuk melakukan kejahatan dengan menggunakan nama palsu, tipu daya atau rangkaian kebohongan, sebelum dibuatnya perjanjian. Jika sejak awal sudah ada pemalsuan nama maka perkara perjanjian hutang piutang atau jual-beli tersebut masuk ke ranah hukum pidana. Namun, jika terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dalam suatu perjanjian setelah dibuatnya perjanjian tersebut, maka hal itu merupakan wanprestasi.
- See more at: http://www.gresnews.com/berita/tips/31122-tips-alasan-kasus-hukum-perdata-berubah-menjadi-pidana/0/#sthash.Blas81ov.dpuf
Share:

Kontak Kami :

Email : info@konsultan-hukum.com dan konsultasihukum24jam@gmail.com

Konsultan Kekayaan Intelektual

IPLC Law Firm

Legal Trust

Popular Posts

Recent Posts