Advokat, Konsultan Hukum, Konsultan HKI, Kurator dan Pengurus WA : 0813.17.906.136

Penjelasan Pasal 372 dan 374 tentang Penggelapan


Pasal 372 KUHP:

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Pasal 374 KUHP:


Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Mengenai Pasal 372 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) mengatakan bahwa penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Bedanya ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya”, sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tindak pidana tidak dengan jalan kejahatan.

Sedangkan mengenai Pasal 374 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa ini adalah penggelapan dengan pemberatan. Pemberatan-pemberatan itu adalah:

1. Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking), misalnya perhubungan antara majikan dengan buruh;

2. Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya, misalnya tukang binatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya;

3. Karena mendapat upah uang (bukan upah yang berupa barang), misalnya pekerja stasiun membawakan barang orang penumpang dengan upah uang, barang itu digelapkannya.

(Sumber : www.hukumonline.com)

Share:

Pengertian Pacta Sunt Servanda

Menurut ajaran Hugo De Groot mengemukakan bahwa azas hukum alam menentukan bahwa "janji itu mengikat" atau pacta sunt servanda.

Share:

Penjelasan Pasal 1466 KUH Perdata

Kata-kata batal demi hukum pada pasal 1466 KUH Perdata harus dibaca dapat dibatalkan. Mariam Darus Badrulzaman.

Share:

Syarat Sah Suatu Perjanjian

Berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata Syarat perjanjian itu ada 4 yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.

Menurut teori kehendak kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak  penerima dinyatakan, misalnya dengan menulis surat.

Sumber : Mariam Darus Badrulzaman

Share:

Penjelasan Pasal 220 KUHP dan Pasal 317 KUHP Tentang Pengaduan Palsu

 Penjelasan Pasal 220 KUHP dan Pasal 317 KUHP :

Pasal 220 KUHP:
Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Pasal 317 KUHP:
(1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.


Perbedaan kedua pasal tersebut :

Pasal 317 KUHP dilakukan dengan maksud untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, namun jika pengaduan atau pemberitahuan palsu tersebut dilakukan tidak dengan maksud menyerang nama baik seseorang, maka dapat dikenakan dengan Pasal 220 KUHP.
 
Untuk dapat dipidana dengan Pasal 220 KUHP atau Pasal 317 KUHP haruslah terdapat adanya unsur kesengajaan. Menurut pendapat dari R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 173 dan hal. 229), jika pengaduan atau pemberitahuan “palsu” tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, misalnya karena keliru atau karena tidak tahu lebih lanjut, tidak dapat dikenakan Pasal 220 atau Pasal 317 KUHP.  

Sumber :  www.hukumonline.com
Share:

Penjelasan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan

Berikut adalah penjelasan dari Pasal 378 KUHP tentang penipuan.



“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun".

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
1.Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan).
2.Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum.
3.Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.


Unsur poin 1 di atas yaitu mengenai upaya/cara adalah unsur utama untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penipuan. Hal ini sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang menyebutkan :

“Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.”
 
 
Tafsir/penjelasan pasal 378 KUHP tentang penipuan :


Berdasarkan Penjelasan R.Soesilo (KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal), Politea Bogor, Tahun 1996. Hal.261 disebutkan bahwa :

* Membujuk = melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian itu.

* Memberikan barang = barang itu tidak perlu harus diberikan (diserahkan) kepada terdakwa sendiri, sedang yang menyerahkan itupun tidak perlu harus orang yang dibujuk sendiri, bisa dilakukan oleh orang lain.

* Menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak = menguntungkan diri sendiri dengan tidak berhak.

* Nama palsu = nama yang bukan namanya sendiri. Nama “Saimin” dikatakan “Zaimin”  itu bukan menyebut nama palsu, akan tetapi kalau ditulis, itu dianggap sebagai menyebut nama palsu.

* Keadaan palsu = misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, notaris, pastor, pegawai kotapraja, pengantar surat pos, dsb-nya yang sebenarnya ia bukan penjabat itu.

* Akal cerdik atau tipu muslihat = suatu tipuan yang demikian liciknya, sehingga seorang yang berpikiran normal dapat tertipu. Suatu tipu muslihat sudah cukup, asal cukup liciknya.

* Rangkaian kata-kata bohong : satu kata bohong tidak cukup, disini harus dipakai banyak kata-kata bohong yang tersusun sedemikian rupa, sehingga kebohongan yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain, sehingga keseluruhannya merupakan suatu ceritera sesuatu yang seakan-akan benar.

* Tentang “barang” tidak disebutkan pembatasan, bahwa barang itu harus kepunyaan orang lain. Jadi membujuk orang untuk menyerahkan barang sendiri, juga dapat masuk penipuan, asal elemen-elemen lain dipenuhinya.
Share:

Telat Bayar Hutang Apakah Bisa Dipidana ?

Perjanjian utang piutang termasuk kedalam masalah perdata - yaitu perjanjian antara kreditur dan debitur, jika seseorang meminjam uang namun telat tidak dapat melunasinya dengan tepat waktu. Tidak seketika dapat dipidana, Namun jika telat untuk membayar maka dikatakan telah lalai wanprestasi sebagaimana berikut :

Wanprestasi ini pada dasarnya dapat terjadi karena 4  hal:
  1. Melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan berdasarkan perjanjian.
  2. Terlambat memenuhi kewajiban.
  3. Melakukan kewajiban (misalnya pembayaran) namun masih kurang atau baru sebagian; atau
  4. Tidak memenuhi kewajiban sama sekali. 
Share:

SYARAT SAHNYA PERJANJIAN PASAL 1320 KUHPerdata

1 Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.
2.Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 th bagi wanita.
Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 tahun bagi laki-laki, 16 tahun bagi wanita.
Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum.
3.Adanya Obyek.
Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.
4.Adanya kausa yang halal.
Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Sumber : http://amelia27.wordpress.com/2008/12/03/syarat-sahnya-perjanjian-pasal-1320-kuhperdata/
Share:

Free Ebook Pembaharuan Hukum Pidana

Share:

Asas Ius Curia Novit

Asas Ius Curia Novit artinya hakim harus dianggap tahu hukum-hukumnya.
Share:

Perbedaan Judex Factie dan Judex Jurist

Sistem peradilan Indonesia terdiri dari dua tingkat yakni putusan judex factie dan judex jurist. Judex factie ini adalah putusan pengadilan tingkat pertama dan banding. Sedangkan judex jurist adalah putusan tingkat kasasi yang hanya memeriksa penerapan hukumnya. (Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9f1ea187343/ada-calon-tak-paham-iius-curia-novit-i)

Dalam hukum Indonesia, Judex facti dan judex jurist adalah dua tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara mengambil keputusan. Peradilan Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi adalah judex facti, yang berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex facti memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut. Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkara tersebut.

Umumnya, Pengadilan Negeri yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota adalah pengadilan pertama yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara, dan bertindak sebagai judex facti. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri, dan memeriksa perkara secara de novo. Artinya, Pengadilan Tinggi memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta yang ada. Dengan ini, Pengadilan Tinggi juga termasuk judex facti.
Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Mahkamah Agung tidak lagi memeriksa fakta dan bukti-bukti perkara. Mahkamah Agung hanya memeriksa interpretasi, konstruksi dan penerapan hukum terhadap fakta yang sudah ditentukan oleh judex facti. Karena ini, Mahkamah Agung disebut judex juris.

(Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Judex_facti_dan_judex_juris) 
Share:

Free Download Kamus Istilah Hukum

Silhakan Download Kamus Istilah Hukum di bawah ini :

DOWNLOAD
Share:

Alat Bukti yang Sah

Dalam ranah hukum pidana, alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yaitu terdiri dari :

1. Keterangan saksi.
2. Keterangan ahli.
3. Surat.
4. Petunjuk.
5. Keterangan terdakwa.
Share:

Pasal 359 KUHP Pada Kasus Kecelakaan Lalu Lintas



Bagaimana pertanggungjawaban pidana seorang pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas? Dan apa dasar hukumnya (KUHP dan UU LLAJ) dan biasanya hakim menerapkan yang mana? Terima kasih

Jawaban:
Ilman Hadi

Kami asumsikan bahwa kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian tersebut disebabkan kelalaian pengemudi kendaraan bermotor. Di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas adalah Pasal 359 KUHP:
Pasal 359

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”


Namun, saat ini telah terdapat peraturan perundang-undangan yang lebih khusus untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang lalai, yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), Di dalam UU LLAJ, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kematian orang lain adalah Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ, yang berbunyi:


“Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”


Mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang digunakan untuk menjerat si pelaku, hal tersebut merupakan kewenangan dari penuntut umum, dan bukan hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 137 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:


Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.


Terkait ini, di dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa:


“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”


Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam UU LLAJ sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum seharusnya menerapkan ketentuan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ di dalam dakwaan, dan bukan Pasal 359 KUHP.


Kendati demikian, dalam hal ini ada hal lain yang juga harus diperhatikan yaitu masalah waktu terjadinya tindak pidana atau tempus delicti, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Dakwaan yang Belum Menggunakan Peraturan Baru sebagai berikut:


“Dalam hal ada undang-undang baru, sebelumnya harus diteliti dahulu tempus (waktu) kejadian tindak pidana tersebut. Apabila pada waktu kejadiannya undang-undang yang baru itu sudah berlaku, maka yang diberlakukan tentu adalah undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama.


“Namun bila waktu kejadiannya adalah pada saat undang-undang yang baru itu belum berlaku, maka harus diteliti, aturan mana yang lebih menguntungkan bagi terdakwa. Apabila undang-undang baru itulah yang lebih menguntungkan bagi terdakwa, maka yang dipakai seharusnya adalah undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas dalam hukum pidana yang diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:


“Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.”


Di sisi lain, saat ini sudah terdapat putusan-putusan Mahkamah Agung yang menggunakan Pasal 310 ayat (1) UU LLAJ untuk kasus-kasus seperti Anda ceritakan. Salah satu contohnya adalah Putusan MA No. 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Nomor 1915

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011



Share:

Free Download Ebook Azas Legalitas dalam Hukum Pidana

Share:

Free Download Kamus Hukum

Share:

Free Donwload KUHAP

Share:

Free Download Asas-Asas Hukum Pidana

Berikut adalah Ebook Asas-Asas Hukum Pidana.

Share:

Azas Legalitas



Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).

Sumber : ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INDONESIA DAN KAJIAN PERBANDINGAN HUKUM
Oleh : Oleh: Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.
Share:

Kontak Kami :

Email : info@konsultan-hukum.com dan konsultasihukum24jam@gmail.com

Konsultan Kekayaan Intelektual

IPLC Law Firm

Legal Trust

Popular Posts

Recent Posts