Advokat, Konsultan Hukum, Konsultan HKI, Kurator dan Pengurus WA : 0813.17.906.136

Isu Ketenagakerjaan Yang Belum Terselesaikan


Oleh Johan Imanuel dan Jarot Maryono (Advokat dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan)


Jelang Debat Capres Ketiga, 17 Maret 2019, salah satu tema adalah ketenagakerjaan. Sebagai praktisi di bidang ketenagakerjaan, penulis merasa perlu menyampaikan beberapa isu ketenagakerjaan yang belum terselesaikan sehingga dapat menambah referensi bagi masyarakat Indonesia. Mengapa? Hal ini dapat dilihat dari Janji Pemerintahan Presiden Jokowi khususnya di bidang ketenagakerjaan mana yang telah terealisasi dan mana yang belum. Adapun lima hal yang menjadi janji Pemerintahan Presiden Jokowi di bidang ketenagakerjaan yaitu memperhatikan permasalahan outsourcing, meningkatkan profesionalisme, menaikkan gaji dan kesejahteraan PNS, TNI dan Polri, menjadikan perangkat desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS), menurunkan pengangguran dengan menciptakan 10 juta lapangan kerja baru selama lima tahun, menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di sektor pertanian, perikanan, dan manufaktur. Dari kelima Janji tersebut terkait dengan regulasi ketenagakerjaan saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu permasalahan outsourcing, menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Permasalahan Outsourcing

Permasalahan outsourcing sepertinya sulit untuk terselasaikan. Sulitnya pengawasan terhadap perusahaan penyedia jasa dalam menentukan Upah merupakan isu populer terkait Outsourcing ini.  Entah itu kurangnya sumber daya manusia ataupun memang perusahaan yang tidak taat hukum meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 telah memperkuat kedudukan pekerja Outsourcing dalam hal pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja / buruh ( Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) sehingga pekerja/buruh harus tetap mendapatkan perlindungan atas hak-haknya yang perusahaanya diambil alih oleh perusahaan lain, selain itu untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang sama persis dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja, maka perusahaan pemberi kerja tersebut harus mengatur agar pekerja outsourcing tersebut menerima fair benefits and welfare tanpa didiskriminasikan dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja sebagaimana ditentukan dalam pasal 65 ayat (4) juncto pasal 66 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Menciptakan Lapangan Pekerjaan Baru

Janji pemerintahan Presiden Jokowi dalam waktu empat tahun adalah menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan telah diklaim oleh Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri mencapai target sebanyak 10.340.690 dan ditargetkan penciptaan lapangan kerja baru sebanyak 2 juta di tahun 2019. Klaim ini tidak dibenarkan oleh pihak serikat pekerja, menurut Said Iqbal Presiden KSPI (2019) mengenai penciptaan lapangan kerja sebagai berikut:
 “...pemerintah menggunakan definisi dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa yang dimaksud dengan pekerja adalah orang yang bekerja satu jam dalam sepekan. Definisi tersebut tidak tepat untuk diklaim dalam pencapaian pemerintah. Sebab, status pekerja tersebut lebih banyak berasal dari sektor informal. Gaji yang mereka miliki pun masih jauh di bawah standar upah minimum regional (UMR)....”  
Hal ini justru menimbulkan kebingungan ke publik karena pihak pemerintah sampai saat ini belum pernah melakukan klarifikasi terhadap bantahan tersebut. Persoalan terkait lapangan pekerjaan baru terkait pula dengan rencana revolusi industri 4.0 dalam hubungan industrial yang belum memiliki dasar hukum yang mumpuni dan apabila diterapkan akan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran di berbagai sektor.

Isu Ketengakerjaan Tahun 2019

Isu terkini, pada tahun 2019 dari versi Menteri Ketenagakerjaan dan kalangan pekerja dirangkum menjadi sebagai berikut :

No.
Versi Pemerintah
(sumber: hukumonline.com)
Versi Labor Institute Indonesia
(sumber: neraca.co.id)
1.
Penciptaan 2 juta lapangan kerja baru
Pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi atau omotomatisasi
2.
Membangun SDM dengan anggaran Rp5,785 triliun
Informalisasi tenaga kerja.
3.
Perlindungan buruh migran Indonesia
BPJS
4.
Jaminan sosial untuk tenaga kerja
Masih tingginya kecelakaan dan Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3)
5.
Pengawasan ketenagakerjaan
Outsourcing
6.
Revisi UU Ketenagakerjaan


Jika dicermati, bahwa muncul lima isu baru yaitu perlindungan buruh migran, jaminan sosial untuk tenaga kerja (BPJS), pengawasan ketenagakerjaan, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi atau omotomatisasi.

Menurut penulis, skala prioritas dalam menyelesaikan isu ketenagakerjaan di tahun 2019 adalah pertama, memastikan bahwa benar-benar lapangan kerja baru hadir di tengah-tengah masyarakat sehingga menjadi jalan keluar apabila telah di implementasikan revolusi industri 4.0 dalam hubungan industrial. Pemerintah sebaiknya bersinergi dengan kalangan pengusaha dan pekerja untuk meyelesaikan berbagai isu tersebut.

Kedua, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan sesegera mungkin dilakukan demi menyesuaikan revolusi industri 4.0 dalam hal hubungan industrial yang sebelum di implementasikan. Hal ini harus dilakukan agar tetap menjaga semangat pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Ketiga, memperkuat pengawasan BPJS, BPJS muncul dengan prinsip gotong royong, sehingga tidak ada salahnya masyarakat dapat dimungkinkan dalam Undang-Undang BPJS untuk berpartisipasi dalam pengawasan fungsi BPJS baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan sehingga sebelum muncul suatu kebijakan dari BPJS, hal tersebut sudah di konsultasikan terlebih dahulu kepada masyarakat. 

Keempat, pengawasan ketenagakerjaan, jika merujuk Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pasal 179 ayat (1), menyebutkan Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri. Menteri Ketenagakerjaan harus lebih transparan ke masyarakat mengenai laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan yang telah disampaikan sehingga dapat dilihat, dinilai serta dikoreksi sehingga pengawasan ketenagakerjaan selaras, serasi dan seimbang dengan pembangunan ketenagakerjaan.

Kelima, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, perlunya mengakomodir berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan atau mempertegas norma baru dalam revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ini penting bagi perkembangan Hukum Ketenagakerjaan yang selalu mengikuti perkembangan jaman. Disamping itu, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan ini sekaligus dapat dilakukan menyesuaikan dengan implementasi revolusi industri 4.0 tanpa mengurangi nilai-nilai yang terkandung dalam pembangunan ketenagakerjaan.

Keenam, pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi atau omotomatisasi, alasan pemutusan hubungan kerja model seperti ini tidak diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sehingga apabila perusahaan yang melakukan hal tersebut maka hal ini merupakan kesewenang-wenangan terhadap pihak pekerja.  Pemerintah perlu membantu mengambil langkah strategis yang sama-sama menguntungkan bagi pihak pengusaha dan pekerja. Namun demikian, apabila Perselisihan Hubungan Industrial tidak bisa dihindari, maka wajib dilaksanakan sesuai dengan pasal 136 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 200, yaitu Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat; ayat (2), Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

Ketujuh, belum semua perusahaan atau pemberi kerja menerapkan sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana yang telah jelas diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 pasal 59 ayat (1):

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu:
a.    Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.    Pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.    Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.    Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Dan ditambahkan dalam pasal 59 ayat (4) bahwa Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Namun kenyataannya hal tersebut di atas belum terimplementasi oleh perusahaan atau pemberi kerja, padahal konsekuensi hukumnya atas pelanggaran tersebut maka sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) batal demi hukum dan berubah secara otomatis menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau dengan kata lain pekerja terkait otomatis demi hukum, berubah statusnya dari pekerja dengan sistem kerja kontrak tersebut (pekerja kontrak/karyawan kontrak) menjadi pekerja tetap/karyawan tetap.

Kedelapan, penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)  yang secara aktual dan nyata belum sepenuhnya terimplementasi dengan baik dan benar sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 87 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juncto Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Hal ini dapat terlihat dengan masih adanya kecelakaan kerja yang terjadi di tempat kerja


Share:

Ganti Rugi (Ideal) Bagi Korban Kecelakaan Pesawat


Oleh :

(cand) DR. Indra Rusmi. SH. MH
Doktor Ilmu Hukum Univ Tarumanagara, Advokat
(e-mail : indrarusmi@gmail.com)
dan
Johan Imanuel. SH - Advokat


Kecelakaan Pesawat Lion Air JT 610 memang menarik perhatian publik. Banyak praktisi hukum pun telah memberikan sudut pandang hukum berkenaan dengan hak ahli waris atau korban kecelakaan pada kecelakaan tersebut. Mengenai hak yang dimaksud tidak terlepas dari ganti rugi terhadap ahli waris korban kecelakaan pesawat. Menarik banyak kalangan untuk mengetahui bagaimana ganti rugi yang ideal bagi Korban / Ahli Waris Korban Kecelakaan Pesawat.

Menurut HK. Martono (2007), menjelaskan kecelakaan-kecelakaan pesawat udara itu dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain faktor manusia (human), mesin pesawat udara (machine/technical), dan cuaca (weather). Serta menjelaskan bahwa kecelakaan adalah suatu peristiwa diluar kemampuan manusia yang terjadi selama berada di dalam pesawat udara dari Bandar udara keberangkatan ke tujuan, dimana terjadi kematian atau luka parah atau kerugian yang disebabkan benturan pesawat udara atau semburan mesin pesawat udara atau terjadi kerusakan structural atau adanya yang perlu diganti atau pesawat hilang sama sekali.

Berbicara, ganti rugi memang tidak lepas dari Hukum Perdata. Ganti rugi dapat timbul dikarenakan wanprestasi dan/atau perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1365 dan Pasal 1366.

Berkaitan ganti rugi kecelakaan pesawat udara. menurut Ahmad Sudiro, dalam desertasi yang berjudul Ganti Rugi Kecelakaan Pesawat Udara (studi perbandingan AS-Indonesia), menjelaskan terhadap hubungan antara perusahaan dengan penumpang dalam perjanjian penyelenggaraan penerbangan yang mengatur hak dan kewajiban. Dan hubungan terhadap perusahaan produsen pesawat udara dengan penumpang sebagai konsumen. Serta hubungan antara perusahaan asuransi dengan penumpang.

Penjelasan tersebut selaras dengan teori ilmu hukum, secara umum dikenal Konsep Tanggung Jawab Hukum tanggung jawab hukum berdasarkan keadilan dan tanggung jawab berdasarkan melawan hukum. Sedangkan secara khusus  terkait dengan kecelakan pesawat, maka  konsep tanggung jawab hukum yang berlaku dalam penerbangan yaitu tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan (based on fault liability), tanggung jawab hukum atas praduga bersalah (presumption of liability), dan tanggung jawab hukum mutlak (strict liability).
             
Berdasarkan hal diatas, maka dikenal tiga model ganti rugi dalam kecelakaan pesawat yaitu ganti rugi oleh perusahaan penerbangan, ganti rugi oleh produsen pesawat dan ganti rugi oleh asuransi.

  
Ganti Rugi Oleh Perusahaan Penerbangan

Ganti rugi secara mediasi dan litigasi. Mediasi artinya penyelesaian dengan memberikan ganti rugi dengan nilai tertentu yang diterima oleh korban/ahli waris. Sedangkan litigasi artinya penyelesaian melalui mekanisme gugatan ke Pengadilan Negeri. Hal ini pernah dilakukan oleh korban dalam peristiwa kecelakaan tergelincirnya pesawat udara sampai keluar landasan pacu Bandar udara karena hujan milik PT. Lion Air jenis MD-82 jurusan Jakarta-Solo dengan nomor Penerbangan JT-538 (detik.com : 2007).

Ganti Rugi Oleh Produsen Pesawat


Ganti rugi ini pernah dilakukan oleh produsen Pesawat kepada Ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara milik PT. Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-152 yang terjadi di Sibolangit Deli Serdang Medan pada tanggal 26 September 1997.  Dalam http://www.wisner.law.com/articles/Adam_crash_indonesian.html, (8 April 2003, hal 3) menjelaskan kasus ini merupakan kejadian kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk yang dioperasikan oleh PT. Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 152 jatuh dan terbakar. Dalam kasus ini Penggugat yang merupakan ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat udara itu melalui kuasa hukumnya dari Nolan Law Firm Group menyatakan bahwa Tergugat (Produsen) wajib bertanggung jawab terhadap cacat design produk Ground Proximity Warning System (GPWS) yang dipakai pada penerbangan pesawat udara Garuda Indonesia GA 152 tersebut. Selain itu Penggugat menyatakan bahwa Tergugat (Produsen) melakukan kelalaian dalam memberi peringatan adanya cacat produk. Ganti rugi akhirnya diterima oleh Penggugat sebesar US 800.000,- (delapan ratus ribu dollar America) per orang yang dibuat dalam perjanjian pembayaran ganti kerugian, dengan menerapkan teori tanggung jawab mutlak (strict liability).

Ganti Rugi Oleh Perusahaan Asuransi

Dari berbagai sumber yang diperoleh oleh penulis, ganti rugi terhadap Korban/Ahli Waris mutlak diperoleh pula dari Asuransi baik Asuransi Perjalanan Yang Ditanggung oleh Negara (Asuransi Jasa Raharja) maupun Asuransi Perjalanan Yang Dibeli oleh Penumpang sebelum keberangkatan.

Kedua bentuk ganti rugi pernah dilakukan dalam Kejadian kecelakaan pesawat udara Boing 737-200 milik PT. Mandala Airlines dengan nomor penerbangan RI-091 yang jatuh di Padang Bulan daerah polonia medan tanggal 5 September 2005, ahli waris berhak untuk mendapat kerugian dari Asuransi Jasa Raharja sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dari setiap penumpang yang meninggal dunia dan bagi penumpang yang mengalami cacat tetap mendapat Rp. 25.000.000,- ( dua puluh lima juta rupiah). Sedangkan terhadap penumpang yang telah membeli produk pembelian Asuransi Jiwa (Jasindo Pelangi) pada counter Asuransi Jasindo di Bandar polonia Medan masing-masing sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah), sebelum melakukan perjalanan. Maka ahli waris berhak untuk memperoleh ganti kerugian dari PT. Asuransi Jasa Indonesia sebagai penanggung sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dari masing-masing tertanggung, sehingga ahli waris tertanggung menerima jumlah ganti rugi dari perusahaan asuransi sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

 Penutup

Dalam ganti rugi terhadap korban/ahli waris korban kecelakaan pesawat dapat diberlakukan tiga model ganti rugi yaitu ganti rugi dari/kepada perusahaan produsen pesawat, perusahaan penerbangan dan perusahaan asuransi. Ganti rugi tersebut merupakan ganti rugi yang  ideal. 




Share:

KUHAP : Hak-Hak Tersangka/Terdakwa



·         Hak untuk segera mendapat pemeriksaan. Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik yang selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum, dan tersangka berhak perkaranya segera dimajukan oleh pengadilan ke penuntut umum (Pasal 50 ayat 1 dan ayat 2).
·         Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan didakwakan  kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51)
·         Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik.  Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52 KUHAP).
·         Hak untuk mendapatkan juru bahasa dalam setiap pemeriksaan.  Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat 1, lih. Juga Pasal 177).
·         Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan. Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang/ KUHAP  (Pasal 54)
·         Berhak secara bebas memilih penasihat hukum. Untuk mendapatkan penasihat hukum tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55).
·         Hak wajib untuk mendapat bantuan hukum. Wajib bagi tersangka mendapat bantuan hukum bagi tersangka dalam semua tingkat pemeriksaan jika sangkaan yang disangkakan diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana minimal 15 tahun atau lebih (Pasal 56).
·         Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP (Pasal 57).
·         Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi atau menerima kunjunngan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak (Pasal 58)
·         Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarga atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminana bagi penangguhannya (Pasal 59).
·         Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatakan bantuan hukum (Pasal 60).
·         Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluraganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61).
·         Tersangka atau  terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluragan setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis-menulis (Pasal 62).
·         Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan (pasal 63).
·         Terdakwa berhak untuk diadili di siding pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64).
·         Tersangka tau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang mempunyai keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (Pasal 65).
·         Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66).
·         Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68.)     (Lihat Juga pasal 95Penulis :
SULHADI, S.H. / KONGRES ADVOKAT INDONESIA

Sulhady.sh.sh@gmail.com / 082393651774







Share:

Problematika Hak Konstitusional Atas Kesehatan


Oleh :
INDRA RUSMI. SH. MH – Advokat dan Akademisi
JOHAN IMANUEL. SH - Advokat
BIREVEN ARUAN, SH - Advokat
                         

Latar Belakang
                        Negara adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan. Pada konteks Negara Indonesia, tujuan Negara tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengidentifikasikan Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Setiap kegiatan disamping harus diorientasikan pada tujuan yang hendak dicapai juga harus berdasarkan pada hukum yang berlaku sebagai aturan kegiatan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut, maka dilakukan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terarah, dan terpadu, termasuk di dalamnya adalah pembangunan kesehatan.
              Kesehatan merupakan salah satu faktor penting bagi Negara karena salah satu faktor dalam pembangunan adalah manusia yang sehat dan berpendidikan. Masyarakat yang sehat akan bisa berbuat apa saja untuk mencapai harapan hidup, sebaliknya masyarakat yang tidak sehat akan mengalami keterlambatan dalam segala hal. Posisi kesehatan yang menduduki tangga pertama dari pembangunan manusia, maka kesehatan diakui secara global sebagai Hak Asasi Manusia. Ditegaskan dalam konstitusi World Health Organization (WHO) 1948, bahwa memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak asasi bagi setiap orang.
            Konsep jaminan sosial dalam arti luas meliputi setiap usaha di bidang kesejahteraan sosial untuk meningkatkan taraf hidup manusia dalam mengatasi keterbelakangan, ketergantungan, ketelantaran, dan kemiskinan. Konsep ini belum dapat diterapkan secara optimal di Indonesia, karena keterbatasan pemerintah di bidang pembiayaan dan sifat ego sektoral dari beberapa pihak yang berkepentingan dalam jaminan sosial. Konsep Negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (sosial services), melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.

Aspek Penting Dalam Konstitusi
            Pada dasarnya terdapat beberapa aspek penting terkait pemenuhan hak konstitusi dan perlindungan hukum dalam rangka terselenggaranya program BPJS. Pertama, amanat konstitusi yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa cita-cita luhur bangsa adalah menjamin kesejahteraan rakyatnya. Tercermin dalam Pancasila sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 juga memiliki beberapa Pasal yang menjadi landasan diperlukannya program BPJS sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS. Pasal 28 H ayat (1) secara langsung mengatakan bahwa jaminan sosial menjadi hak setiap manusia. Pada Pasal 34 ayat (1) kembali disebutkan landasan konstitusional diperlukannya sistem jaminan sosial. Landasan konstitusional selanjutnya yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dengan latar belakang untuk membangun sistem yang komprehensif dan memberi “rasa aman” (security) yang lebih luas.
             Kedua, aspek kebutuhan rakyat, jaminan sosial merupakan kebutuhan bagi masyarakat. Jaminan sosial dibutuhkan secara menyeluruh dan tidak terfragmentasi. Aksesabilitas masyarakat yang berbeda karena perbedaan kemampuan ekonomi, letak geografis, dan perbedaan ketersediaan fasilitas, mendorong perlunya jaminan yang sama bagi setiap individu. Jaminan ini dibutuhkan karena setiap individu memiliki kemungkinan masuk dalam kategori masyarakat rentan dalam menghadapi resiko sosial dalam hidupnya.       Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (3) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan: “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

Permasalahan yang Timbul :
P
            Permasalahan yang timbul pada saat ini dalam pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System) :
1.      Penolakan pasien tidak mampu di fasilitas pelayanan kesehatan hal ini dikarenakan Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Peraturan presiden No. 111 Tahun 2013 tentang Jaminan kesehatan hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat fakir miskin sebagai PBI padahal menurut BPJS, fakir miskin ada 96,7 juta. Pelaksanaan BPJS tahun 2014 didukung pendanaan dari pemerintah sebesar Rp. 26 trliun yang dianggarkan di RAPBN 2014. Anggaran tersebut dipergunakan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp. 16.07 trliun bagi 86,4 juta masyarakat miskin sedangkan sisanya bagi PNS, TNI dan Polri. Pemerintah harus secepatnya menganggarkan biaya kesehatan Rp. 400 milyar untuk gelandangan, anak jalanan, penghuni panti asuhan, panti jompo dan penghuni lapas (jumlahnya sekitar 1,7 juta orang). Dan tentunya jumlah fakir miskin yang dicover oleh BPJS kesehatan harus dinaikkan menjadi 96,7 juta.
2.      Dalam pelaksanaan secara teknis maka mengacu kepada Undang-Undang BPJS dan Perda terkait, dimana anak terlantar dan gelandangan/pengemis (gepeng) serta orang yang gila (gangguan jiwa) itu menjadi tanggung jawab negara atau pemerintah daerah, sehingga bagi mereka yang mempunyai identitas (KTP dan KK) maka akan di berikan kartu miskin atau warga tidak mampu. Namun bagi anak-anak terlantar, gepeng dan orang yang gila (gangguan jiwa) yang tidak mempunyai kartu identitas maka mereka akan di data oleh dinas sosial setempat dan menjadi tanggungan pemerintah daerah melalui Deparrtemen Sosial.
3.      Pelaksanaan di lapangan, pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit) sampai saat ini masih bermasalah. Pasien harus mencari-cari kamar dari satu RS ke RS lainnya karena dibilang penuh oleh RS, bukanlah hal yang baru dan baru sekali terjadi. Ditambah dengan antrian yang cukup banyak pada saat mendaftar di kantor BPJS untuk melakukan pendaftaran awal pembuatan BPJS Kesehatan antrian sangat panjang, tempat duduk ruang tunggu sangat minim. Kemudian di pelayanan Puskesmas maupun rumah sakit, pasien harus menunggu antrian yang cukup lama pada saat akan melakukan pengobatan, menunggu antrian awal pendaftaran cukup lama dan juga pada saat menunggu antrian pengambilan obat.
4.      Perihal obat-obatan tidak semua tercover oleh BPJS, terdapat keluhan dari Masyarakat kurang mampu yang harus menanggung biaya pembelian obat-obatan yang harganya cukup mahal, sehingga bagi PBI yang tidak mampu membeli obat pada akhirnya tidak melakukan pembelian obat tersebut, (Keluhan dari Ny. Titin Perihal Putranya yang sakit lumpuh dari tahun 2011 Hingga sekarang (Pasien PBI), warga Cipayung Rt.07 Rw.04 Cipayung Jakarta Timur). ( sumber hasil wawancara )

Pemenuhan Hak Kostitusional Warga Negara yang Ideal Dikemudian Hari
                     Pelayanan kesehatan BPJS mempunyai sasaran didalam pelaksanaan akan adanya sustainibilitas operasional dengan memberi manfaat kepada semua yang terlibat dalam BPJS, pemenuhan kebutuhan medik peserta, dan kehati-hatian serta transparansi dalam pengelolaan keuangan BPJS. Perlu perhatian lebih mendalam dalam pelaksanaan terhadap system pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System), sistem pembayaran (Health Care Payment System) dan sistem mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System). Mengingat pelaksanaan BPJS dikeluarkan melalui Undang-Undang dimana bersifat mengatur sedangkan proses penetapan pelaksanaan diperkuat melalui surat keputusan atau ketetapan dari pejabat Negara yang berwenang seperti peraturan pemerintah dan peraturan presiden setidaknya minimal 10 regulasi turunan harus dibuat untuk memperkuat pelaksanaan BPJS.
                    Menurut Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) tahun 2011 untuk Program Pembangunan PBB (UNDP), menunjukan bahwa di Indonesia terdapat 48,35 juta (20,8 persen) orang miskin multi dimensi, yakni yang di ukur menurut indikator penghasilan, pendidikan, dan usia harapan hidup. Sedangkan presentasi fakir miskin di tahun 2011 menurut BPPS lebih kecil lagi yaitu 12,49 persen (30,3 juta orang) dari 237 juta jiwa.Walaupun ini angka besar, jumlah fakir miskin sebenarnya terus menurun dari tahun ke tahun, hal ini dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang meningkat hamper 50 persen dalam kurun waktu 31 tahun ( 1980 – 2011/ (0,432 – 0,617).
            Pengalaman Negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal, ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial. Fakir miskin dan penyandang masalah Kesejahteraan Sosial adalah kelompook yang tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun strukturalnya (pengangguran), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitarnya, termarjinalkan dalam proses pembangunan yang tidak adil.
            Pemenuhan Hak Konstitusional Bagi Masyarakat Berdasarkan Pasal 28H  Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang akan datang adalah setiap warga negara dijamin oleh negara atas jaminan sosial tanpa membedakan status sosial, suku, agama, ras dan golongan, sehingga jaminan sosial adalah merupakan suatu tanggung jawab negara untuk melindungi warga negara dari ancaman terhadap kemiskinan, kesehatan maupun bencana. Inilah yang dinamakan Baldatun warofun ghofur, atau sejalan dengan cita-cita Negara Republik Indonesia yang tertuang pada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu Adil dan Makmur.

Beberapa Rekomendasi yang diperlukan antara lain :

1. Menegakan Kepatuhan Hukum Terhadap Stakholders, sehingga satu sama   lain saling mendukung untuk mencapaiUniversal Health Coverage(UHC);
2. Memperbaiki akurasi data peserta, perlu terus melakukan verifikasi dan validasi data kepesertaan peserta (baik PBI maupun Jamkesda), agar tidak terjadi kepesertaan ganda atau sebaliknya (mengabaikan masyarakat yang sebenarnya berhak menerima bantuan iuran);
3. Memperbaiki regulasi, BPJS Kesehatan perlu melakukan revisi regulasi, sehingga ada sanksi yang tegas bagi pemerintah daerah dan lembaga terkait yang tidak mendukung Program JKN/KIS.
4. Meningkatkan kualitas SDM dan mendorong terciptanya SDM yang profesional yang ditempatkan pada mitra kerja seperti: rumah sakit dan puskesmas, agar dapat memberikan layanan kesehatan terbaik bagi masyarakat
5. Pemerintah disarankan untuk meningkatkan anggaran pelayanan kesehatan sebesar Rp. 400 milyar untuk  gelandangan, anak jalanan, penghuni panti asuhan, panti jompo dan penghuni lapas (jumlahnya sekitar 1,7 juta orang) dari APBN termasuk anggaran terhadap fakir miskin harus dinaikkan menjadi 96,7 juta.  
6. Pemerintah disarankan mencontoh pengelolaan dana pelayanan kesehatan seperti negarMalaysia yang sudah lebih tingkat kesadaran akan kesehatan.



Foto dari Kiri ke Kanan : Indra Rusmi, S.H., M.H, Bireven Aruan, S.H dan Johan Imanuel, S.H.



Share:

Kontak Kami :

Email : info@konsultan-hukum.com dan konsultasihukum24jam@gmail.com

Konsultan Kekayaan Intelektual

IPLC Law Firm

Legal Trust

Popular Posts

Recent Posts