Advokat, Konsultan Hukum, Konsultan HKI, Kurator dan Pengurus WA : 0813.17.906.136

Isu Ketenagakerjaan Yang Belum Terselesaikan


Oleh Johan Imanuel dan Jarot Maryono (Advokat dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan)


Jelang Debat Capres Ketiga, 17 Maret 2019, salah satu tema adalah ketenagakerjaan. Sebagai praktisi di bidang ketenagakerjaan, penulis merasa perlu menyampaikan beberapa isu ketenagakerjaan yang belum terselesaikan sehingga dapat menambah referensi bagi masyarakat Indonesia. Mengapa? Hal ini dapat dilihat dari Janji Pemerintahan Presiden Jokowi khususnya di bidang ketenagakerjaan mana yang telah terealisasi dan mana yang belum. Adapun lima hal yang menjadi janji Pemerintahan Presiden Jokowi di bidang ketenagakerjaan yaitu memperhatikan permasalahan outsourcing, meningkatkan profesionalisme, menaikkan gaji dan kesejahteraan PNS, TNI dan Polri, menjadikan perangkat desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS), menurunkan pengangguran dengan menciptakan 10 juta lapangan kerja baru selama lima tahun, menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di sektor pertanian, perikanan, dan manufaktur. Dari kelima Janji tersebut terkait dengan regulasi ketenagakerjaan saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu permasalahan outsourcing, menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Permasalahan Outsourcing

Permasalahan outsourcing sepertinya sulit untuk terselasaikan. Sulitnya pengawasan terhadap perusahaan penyedia jasa dalam menentukan Upah merupakan isu populer terkait Outsourcing ini.  Entah itu kurangnya sumber daya manusia ataupun memang perusahaan yang tidak taat hukum meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 telah memperkuat kedudukan pekerja Outsourcing dalam hal pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja / buruh ( Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) sehingga pekerja/buruh harus tetap mendapatkan perlindungan atas hak-haknya yang perusahaanya diambil alih oleh perusahaan lain, selain itu untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang sama persis dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja, maka perusahaan pemberi kerja tersebut harus mengatur agar pekerja outsourcing tersebut menerima fair benefits and welfare tanpa didiskriminasikan dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja sebagaimana ditentukan dalam pasal 65 ayat (4) juncto pasal 66 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Menciptakan Lapangan Pekerjaan Baru

Janji pemerintahan Presiden Jokowi dalam waktu empat tahun adalah menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan telah diklaim oleh Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri mencapai target sebanyak 10.340.690 dan ditargetkan penciptaan lapangan kerja baru sebanyak 2 juta di tahun 2019. Klaim ini tidak dibenarkan oleh pihak serikat pekerja, menurut Said Iqbal Presiden KSPI (2019) mengenai penciptaan lapangan kerja sebagai berikut:
 “...pemerintah menggunakan definisi dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa yang dimaksud dengan pekerja adalah orang yang bekerja satu jam dalam sepekan. Definisi tersebut tidak tepat untuk diklaim dalam pencapaian pemerintah. Sebab, status pekerja tersebut lebih banyak berasal dari sektor informal. Gaji yang mereka miliki pun masih jauh di bawah standar upah minimum regional (UMR)....”  
Hal ini justru menimbulkan kebingungan ke publik karena pihak pemerintah sampai saat ini belum pernah melakukan klarifikasi terhadap bantahan tersebut. Persoalan terkait lapangan pekerjaan baru terkait pula dengan rencana revolusi industri 4.0 dalam hubungan industrial yang belum memiliki dasar hukum yang mumpuni dan apabila diterapkan akan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran di berbagai sektor.

Isu Ketengakerjaan Tahun 2019

Isu terkini, pada tahun 2019 dari versi Menteri Ketenagakerjaan dan kalangan pekerja dirangkum menjadi sebagai berikut :

No.
Versi Pemerintah
(sumber: hukumonline.com)
Versi Labor Institute Indonesia
(sumber: neraca.co.id)
1.
Penciptaan 2 juta lapangan kerja baru
Pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi atau omotomatisasi
2.
Membangun SDM dengan anggaran Rp5,785 triliun
Informalisasi tenaga kerja.
3.
Perlindungan buruh migran Indonesia
BPJS
4.
Jaminan sosial untuk tenaga kerja
Masih tingginya kecelakaan dan Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3)
5.
Pengawasan ketenagakerjaan
Outsourcing
6.
Revisi UU Ketenagakerjaan


Jika dicermati, bahwa muncul lima isu baru yaitu perlindungan buruh migran, jaminan sosial untuk tenaga kerja (BPJS), pengawasan ketenagakerjaan, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi atau omotomatisasi.

Menurut penulis, skala prioritas dalam menyelesaikan isu ketenagakerjaan di tahun 2019 adalah pertama, memastikan bahwa benar-benar lapangan kerja baru hadir di tengah-tengah masyarakat sehingga menjadi jalan keluar apabila telah di implementasikan revolusi industri 4.0 dalam hubungan industrial. Pemerintah sebaiknya bersinergi dengan kalangan pengusaha dan pekerja untuk meyelesaikan berbagai isu tersebut.

Kedua, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan sesegera mungkin dilakukan demi menyesuaikan revolusi industri 4.0 dalam hal hubungan industrial yang sebelum di implementasikan. Hal ini harus dilakukan agar tetap menjaga semangat pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Ketiga, memperkuat pengawasan BPJS, BPJS muncul dengan prinsip gotong royong, sehingga tidak ada salahnya masyarakat dapat dimungkinkan dalam Undang-Undang BPJS untuk berpartisipasi dalam pengawasan fungsi BPJS baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan sehingga sebelum muncul suatu kebijakan dari BPJS, hal tersebut sudah di konsultasikan terlebih dahulu kepada masyarakat. 

Keempat, pengawasan ketenagakerjaan, jika merujuk Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pasal 179 ayat (1), menyebutkan Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri. Menteri Ketenagakerjaan harus lebih transparan ke masyarakat mengenai laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan yang telah disampaikan sehingga dapat dilihat, dinilai serta dikoreksi sehingga pengawasan ketenagakerjaan selaras, serasi dan seimbang dengan pembangunan ketenagakerjaan.

Kelima, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, perlunya mengakomodir berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan atau mempertegas norma baru dalam revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ini penting bagi perkembangan Hukum Ketenagakerjaan yang selalu mengikuti perkembangan jaman. Disamping itu, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan ini sekaligus dapat dilakukan menyesuaikan dengan implementasi revolusi industri 4.0 tanpa mengurangi nilai-nilai yang terkandung dalam pembangunan ketenagakerjaan.

Keenam, pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi atau omotomatisasi, alasan pemutusan hubungan kerja model seperti ini tidak diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sehingga apabila perusahaan yang melakukan hal tersebut maka hal ini merupakan kesewenang-wenangan terhadap pihak pekerja.  Pemerintah perlu membantu mengambil langkah strategis yang sama-sama menguntungkan bagi pihak pengusaha dan pekerja. Namun demikian, apabila Perselisihan Hubungan Industrial tidak bisa dihindari, maka wajib dilaksanakan sesuai dengan pasal 136 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 200, yaitu Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat; ayat (2), Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

Ketujuh, belum semua perusahaan atau pemberi kerja menerapkan sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana yang telah jelas diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 pasal 59 ayat (1):

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu:
a.    Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.    Pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.    Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.    Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Dan ditambahkan dalam pasal 59 ayat (4) bahwa Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Namun kenyataannya hal tersebut di atas belum terimplementasi oleh perusahaan atau pemberi kerja, padahal konsekuensi hukumnya atas pelanggaran tersebut maka sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) batal demi hukum dan berubah secara otomatis menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau dengan kata lain pekerja terkait otomatis demi hukum, berubah statusnya dari pekerja dengan sistem kerja kontrak tersebut (pekerja kontrak/karyawan kontrak) menjadi pekerja tetap/karyawan tetap.

Kedelapan, penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)  yang secara aktual dan nyata belum sepenuhnya terimplementasi dengan baik dan benar sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 87 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juncto Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Hal ini dapat terlihat dengan masih adanya kecelakaan kerja yang terjadi di tempat kerja


Share:

Kontak Kami :

Email : info@konsultan-hukum.com dan konsultasihukum24jam@gmail.com

Konsultan Kekayaan Intelektual

IPLC Law Firm

Legal Trust

Popular Posts

Recent Posts