Advokat, Konsultan Hukum, Konsultan HKI, Kurator dan Pengurus WA : 0813.17.906.136

Aksi Vandalisme dalam Kacamata Hukum Positif Indonesia



Oleh: Andrie Irawan, SH., MH[1]
Email: andrie.legal@merahputih.id , HP/WA: 0813-28-777-614

Pendahuluan
Tata kota yang indah dan teratur merupakan proyeksi umum yang dapat dikategorikan bahwa warga dari kota tersebut rapi dan tertib. Selain itu tentunya kota sebagaimana dimaksud menjadi sebuah hunian yang nyaman untuk siapa saja. Permasalahan kota dalam hal visualisasi representasi kota sebagai tempat yang bersih, sehat, tidak mengganggu pemandangan, rapi dan tertata menjadikan kota memiliki identitas ruang yang tidak bisa dipungkiri dan kokoh. Pribadi kota seperti inilah yang menjadikan sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai pekerja seni (seniman) liar mengembangkan daya imajinasinya dalam sebuah ruang yang bernama ruang publik. Sementara ruang publik sendiri diakui sebagai bagian dari identitas kota yang harus memenuhi standar sebagai kota yang bersih dan tertata dari tangan-tangan manusia yang ingin merusak.
Coretan di dinding pada ruang publik merefleksikan bagaimana seseorang menuangkan keresahan hatinya lewat aksi coret-coret pada dinding. Si pembuat coretan ingin menyampaikan gagasannya lewat ruang publik, atau karena dorongan eksistensi si pencoret yang ingin tampil tanpa pesan sedikitpun. Aksi tersebut dilakukan di kota-kota, seolah-olah telah menjadi kebiasaan yang lumrah, bahkan coretan-coretan tersebut seolah tak menyisakan tembok yang bersih berwarna putih. Dinding menjadi media utama bagi para pencoret dan permukaan yang datar dan luas menjadi sasaran empuk baginya.
Fenomena yang digambarkan dalam tulisan ini tentunya bukan lagi sebatas wacana, melainkan sudah fakta yang membuat wajah kota tidak indah lagi. Hal ini juga dapat memproyeksikan bahwa warga kota yang dimaksud terkesan egois dan cuek (makna cuek ini ditekankan ketika aksi coretan-coretan yang terjadi hanya dibiarkan tanpa ada solusi mengarahkannya ke hal yang lebih positif).
Kebanyakan aksi dari coret-coret tersebut dilakukan oleh remaja yang masih dalam usia sekolah, baik yang masih sekloah maupun tidak. Permasalahan ini menjadi permasalahan sosial dan mengarah kepada penyakit masyarakat yang tentunya tidak dapat dibiarkan atau bahkan kita tidak peduli dengan permasalahan tersebut. Aksi-aksi yang dimaksud dan marak saat ini dikenal dengan istilah Vandalisme, sebelum mencari solusi dalam upaya penanggulanganya tentunya kita perlu mencari akar masalah kenapa hal ini terjadi.

Kenakalan Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Adapun rentang usia remaja antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi perempuan dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi laki-laki.[2]
Remaja berada pada masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.[3]
Melihat definisi tersebut, remaja berada dalam masa peralihan, ketika dalam pembatasan umur menurut hukum remaja berada dalam kategori anak dan dewasa, sehingga pendekatannya jika dilihat dari sisi hukum tentunya akan berbeda, namun tulisan ini akan lebih melihat remaja dari sisi perkembangan. Selain itu jika berbicara masalah remaja yang bersifat negatif atau dikenal dengan kenakalan remaja, patu diperhatikan bahwa kenalakan remaja merupakan tindakan melanggar aturan ataupun norma, baik dari skala kecil sampai dengan besar diantaranya membolos sekolah, melanggar jam malam yang ditetapkan orangtua, hingga kenakalan berat seperti vandalisme, perkelahian antar geng, penggunaan obat-obat terlarang, dan sebagainya.
Dalam batasan hukum, menurut Philip Rice dan Gale Dolgin, penulis buku The
Adolescence, terdapat dua kategori pelanggaran yang dilakukan remaja, yaitu:
1.      Pelanggaran indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak remaja. Perilaku yang termasuk di antaranya adalah pencurian, penyerangan, perkosaan, dan pembunuhan.
2.      Pelanggaran status, di antaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, minum minuman beralkohol di bawah umur, perilaku seksual, dan perilaku yang tidak mengikuti peraturan sekolah atau orang tua.
Tindakan kenakalan remaja yang tidak terkontrol akan menjerumuskan seorang remaja pada perilaku kejahatan remaja (Juvenile Deliquency) yang merupakan salah satu penyakit sosial. Penyakit Sosial atau Penyakit Masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum. Disebut juga sebagai penyakit masyarakat karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi penyakit.

Pemicu dari Kenakalan Remaja
Ada beberapa pemicu ataupun faktor timbulnay permasalahan sosial berupa kenakalan remaja. Beberapa pendapat mengkategorikan faktornya menjadi dua hal, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal dari remaja itu sendiri dilandasi dari beberapa hal, antara lain: Kepribadian yang cenderung agresif dan labil, karena masa remaja dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya. Dimana seseorang meninggalkan masa anak-anak untuk menuju masa dewasa. Masa ini di rasakan sebagai suatu Krisis identitas karena belum adanya pegangan, sementara kepribadian mental untuk menghindari timbulnya kenakalan remaja atau perilaku menyimpang.[4]
Faktor lain yaitu berasal dari eksternal remaja, diantaranya: Keluarga, permasalahan yang timbul dalam keluarga, Menurut Karol Kumpfer dan Rose Alvarado, profesor dan asisten profesor dari University of Utah, dalam penelitiannya, menyebutkan bahwa kenakalan dan kekerasan yang dilakukan oleh anak dan remaja berakar dari masalah-masalah sosial yang saling berkaitan, diantaranya kekerasan yang dilakukan orang tua kepada anak baik dari pengabaian, kekerasan dalam rumah tangga. Ketidakmampuan orang tua dalam menghentikan dan melarang perilaku anak akan membuat perilaku kenakalan tersebut bertahan.[5]
Dalam batasan hukum, menurut Philip Rice dan Gale Dolgin, penulis buku The Adolescence, terdapat dua kategori pelanggaran yang dilakukan remaja, yaitu:[6]
1.      Pelanggaran indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak remaja. Perilaku yang termasuk di antaranya adalah pencurian, penyerangan, perkosaan, dan pembunuhan.
2.      Pelanggaran status, di antaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, minum minuman beralkohol di bawah umur, perilaku seksual, dan perilaku yang tidak mengikuti peraturan sekolah atau orang tua
Selain itu kenakalan remaja juga dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:
1.      Genetis Psikologis, remaja di usia 12-18 tahun sedang berada dalam masa panca roba, dimana pada faes ini remaja sedang mencari jati diri dan tentunya mencari teman sebanyanya untuk saling berkomunikasi dan saling mencurahkan isi hatinya. Remaja pada fase ini sedang menari “aku”nya dan lebih menjolkan “aku”nya dengan sifat keras kepala, kasar dan brutal, jika tanpa adanya pembinaan terarah akan timbul kenakalan remaja.
2.      Secara sosiologi, banyak faktor regulatif seperti misalnya peraturan tata tertib dan norma-norma lain yang berperan dalam kehidupan sosial, kini banyak diabaikan bahkan dilanggar sehingga berakibat logis dari masalah situasi sosial yang pernah dilaluinya ataupun yang sedang dialaminya hal ini mungkin timbul dari kehidupan dalam keluarga, seperti karena dalam perceraian, kesibukan orang tua dalam bekerja, kurangnya komunikasi dalam keluarga dan lain-lain yang kesemua itu dapat menimbulkan kehangatan keluarga tidak pernah ada dalam perkembangan jiwa remaja
3.      Secara sosial ekonomi dan politik, secara sosial ekonomi keadaan susunan keluarga remaja sangatlah bermacam-macam. Ada keluarga mampu, setengah mampu, dan ada yang serba kekurangan. Melihat kondisi tersebut, ada yang menyerahkan pendidikan anaknya sepenuhnya kapada sekolah. Dilain pihak ada juga yang menyebut anak didik dan remajanya dengan mencukupkan berbagai kebutuhannya dengan sejumlah uang yang cukup dan bahkan berlebihan atau yang menyerahkan kepada pengasuhnya atau pekerja rumah tangga sehingga berakibat anak (remaja) mengalami kekosongan jiwa. Ketika lahir kekosangan jiwa kepada anak (remaja) tentunya anak akan mudah gelisah dan rentan akan masukan-masukan negatif dari lingkungannya karena ketidaktangguhan dari jiwa anak (remaja) tersebut, misalnya dalam fenomena aksi politik praktis saat ini maka remaja akan sangat mudah digiring untuk jadi simpatisan.

Vandalisme, Graffiti dan Mural
Vandalisme dan grafiti signifikan mempengaruhi individu dan masyarakat. Penghapusan dan pencegahan vandalisme grafiti sangat mahal untuk masyarakat. Puluhan juta dari uang pembayar pajak dibelanjakan setiap tahun pada membersihkan grafiti dan memperbaiki kerusakan yang menyebabkan. Menghabiskan uang rakyat ini untuk membersihkan grafiti berarti bahwa uang tidak dibelanjakan pada hal-hal yang dapat bermanfaat bagi masyarakat.[7] Vandalisme grafiti bisa menjadi kegiatan yang berbahaya. Graffiti sering diterapkan di lokasi berbahaya, seperti di sepanjang rel kereta api, kereta api koridor dan kereta terowongan.[8]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1989) Vandalisme adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya. Vandalisme sendiri dapat didefinisikan sebagai kegiatan iseng dan tidak bertanggung jawab dari beberapa orang yang berperilaku cenderung negatif.
Vandalisme merupakan simbol ekspresi manusia untuk diakui keberadaannya oleh manusia lain dengan berbagai macam cara. Namun apabila sudah mengarah pada perbuatan negatif, maka akan ada pihak yang merasa dirugikan.
Graffiti sendiri dapat digolongkan dalam aksi vandalisme. Diane Schaefer memberikan pendapat terhadap graffiti yaitu graffiti researchers typically use a broad definition for their topic. Graffiti as an inscription or drawing made on a public surface (as a wall) (Diane Schaefer, 2004 :181).
Graffiti berasal dari bahasa latin, yaitu Graphium yang artinya adalah Tulisan. Graffiti sudah ada sejak zaman dulu, digunakan sebagai media komunikasi dan sarana mistisme dan spiritualisme. Graffiti juga digunakkan sebagai sarana propaganda untuk menyindir dan menunjukkan ketidakpuasaan kepada pemerintah saat zaman Romawi.[9] Graffiti itu sendiri adalah coretan di dinding dengan mempertimbangkan komposisi warna, garis, bentuk dan volume untuk menuliskan kata, simbol atau kalimat tertentu. Alat yang digunakan untuk Graffiti itu biasanya cat semprot (pilox) atau spidol. Kegiatan membuat Graffiti biasa disebutnya sih nge-bomb dan pelakunya disebut sebagai Bomber.[10]
Mural berasal dari bahasa latin Murus yang berarti Dinding. Arti yang lebih luas lagi, Mural adalah lukisan yang dilukis pada bidang permanen seperti tembok, dinding dan sejenisnya. Mural udah ada sejak zaman dulu, dipergunakan sebagai ajang kegiatan spiritual dan ajang eksistensi diri.[11]

Solusi Mengatasi Vandalisme dalam Hukum Positif Indonesia
Vandalisme dalam tulisan ini memang memandangnya adalah tindakan sebuah pelanggaran terhadap ketertiban umum bahkan juga dapat menjadi sebuah kejahatan. Pendekatan hukum positif dalam tindakan vandalisme yang dilakukan oleh remaja tidak hanya sebatas pendekatan dari aspek pidana namun juga dapat menggunakan pendekatan secara perdata.
Pendekatan normatif dalam hukum pidana untuk aksi vandlisme dapat diuraikan dalam beberapa pasal-pasal yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantaranya:
Jika aksi vandalisme yang dilakukan tersbut berkibat adanya pengrusakan rumah (gedung) atau bangunan-bangunan yang dapat mendatangkan bahaya umum bagi barang, bahaya bagi orang lain, atau bahaya maut bagi orang lain, maka pasal yang mungkin digunakan adalah Pasal 200 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja menghancurkan atau merusak gedung atau bangunan diancam:
1.    dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi barang;
2.    dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
3.    dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.”

Terkait pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa supaya dapat dihukum dengan pasal ini, maka perbuatan tersebut harus dilakukan dengan “sengaja” dan harus mendatangkan akibat-akibat sebagaimana termaktub pada sub 1 sampai dengan sub 3 dalam pasal ini.
Mengenai apa yang dimaksud dengan menghancurkan dan merusak, S.R. Sianturi, S.H. (Ibid) menjelaskan bahwa menghancurkan adalah membuatnya sama sekali binasa atau musnah, rusak berantakan dan bahkan sudah tidak berwujud lagi ibarat sepeda digilas stomwals (kendaraan penggilas jalan). Sedangkan merusak adalah membuat sebagian dari benda itu rusak yang mengakibatkan keseluruhan benda itu tidak dapat dipakai.
Melihat pada uraian di atas, jika perbuatan orang tersebut hanya mencoret-coret rumah Anda yang tidak mengakibatkan bahaya baik bagi barang maupun bagi nyawa orang lain, serta perbuatan tersebut tidak ada maksud untuk membuat Anda melakukan sesuatu sesuai keinginan si pelaku, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.
Akan tetapi, jika yang melakukan hal tersebut lebih dari 1 (satu) orang, maka dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 170 ayat (1) KUHP:

“Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”

R. Soesilo (Ibid) menjelaskan bahwa yang dilarang dalam pasal ini adalah “melakukan kekerasan”. Kekerasan yang dilakukan ini biasanya terdiri dari “merusak barang” atau “penganiayaan”, akan tetapi dapat pula kurang daripada itu; sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu pada orang lain atau rumah, atau membuang-buang barang-barang dagangan, sehingga berserakan, meskipun tidak ada maksud yang tentu untuk menyakiti orang atau merusak barang itu.
Mengenai yang dimaksud dengan “tenaga bersama”, S.R. Sianturi, S.H., dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, mengatakan bahwa beberapa sarjana berpendapat tidak cukup hanya dua orang saja. Ini karena istilah “dengan tenaga bersama” lebih mengindikasikan suatu gerombolan manusia. Akan tetapi ada sarjana lainnya (antara lain Noyon) yang berpendapat bahwa subjek inin sudah memenuhi syarat jika ada dua orang (atau lebih).
Penggunaan pasal ini dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis Nomor : 139 / Pid.B / 2011 / PN.Bks. Dalam putusan ini, terdakwa bersama-sama dengan orang lain (yang telah dipidana) melakukan aksi dengan menggunakan kekerasan terhadap barang, yaitu memecahkan kaca nako dengan menggunakan batang kayu bambu runcing yang dilakukan oleh terdakwa dan beberapa orang lainnya, selain itu beberapa dari mereka mencoret dinding Kantor Balai Desa menggunakan cat semprot "PILOK”' berwarna merah dengan tulisan "DISEGEL KANTOR SETAN", bahkan ada yang melempar telur busuk kedinding Kantor Balai Desa Sungai Cingam. Atas perbuatan terdakwa dan orang-orang tersebut, terdakwa dipidana berdasarkan Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Selain itu, dalam dataran praktek perihal aturan untuk menjerat pelaku vandalism juga masih sangat lemah, biasanya pelaku dijerat menggunakan Pasal 489 ayat (1) KUHP:

“Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah”

Makna “kenakalan” dalam pasal dimaksud menurut R Soesilo adalah semua perbuatan orang, berlawanan dengan ketertiban umum, ditujukan pada orang, binatang dan barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, yang tidak dapat dikenakan salah satu pasal khusus dalam KUHP.
Mengenai denda dalam pasal 489 ayat (1) KUHP, berdasarkan Pasal 3 dan 4 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, menyatakan sebagai berikut:

Pasal 3 PERMA No. 2 Tahun 2012:
“Tiap jumlah maksimum hukuman dengan diancamakan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (1) dan ayat (2) dilipatgandakan menjadi 1000 (seribu kali)

Pasal 4 PERMA No. 2 Tahun 2012:
“Dalam menangani perkara tindak pidana yang didakwa dalam pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib memperhatikan Pasal 3 diatas”

Selain dari sudut pandang hukum pidana, pendekatan untuk mengatasi aksi vandalisme ini juga dapat menggunakan hukum perdata. Ketentuan pasal yang paling dimungkinkan dalam mengatasi aksi tersebut adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dengan melakukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum. Adapun isi pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut:
a.    Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);
b.    Perbuatan itu harus melawan hukum;
c.    Ada kerugian;
d.    Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
e.    Ada kesalahan.
Sedangkan, yang termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan yang:
1.    Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2.    Melanggar hak subjektif orang lain;
3.    Melanggar kaidah tata susila;
4.    Bertentangan dengan azas kepatutan ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Hal yang menjadi titik poin adalah harus ada perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku. Perbuatan tersebut melawan hukum yaitu melanggar hak dasar manusia untuk hidup tentram dan bebas dari gangguan baik atas diri sendiri dan keluarga maupun atas barang-barang milik kita. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian, baik materiil dan imateriil. Kerugian yang dialami merupakan akibat dari perbuatan si pelaku

Penanganan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Vandalisme
Sering kali pelaku vandalisme yang ditemui adalah remaja dengan berusia anak (masih dibawah 18 tahun sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), kondisi tersebut dalam kacamata penegakan hukum ternyata tidak dapat dilakuakan sama seperti orang dewasa pada umum, hal ini menjadi berbeda karena jika seorang anak menjadi pelaku kejahatan atau dikenal dengan istilah Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) sebagai pelaku mendapatkan perlakukan khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) (ketentuan ini berlaku sebagai konsekuensi pemenuhan asas lex spesialis derogate legi generalis terhadap KUHP dimana untuk penanganan ABH menggunakan undang-undang khusus).
Namun ketentuan khusus sebagaimana dijelaskan diatas untuk ABH bersifat terbatas/limitative, kategori ABH yang mendapatkan penangann khusus sebagaimana diatur dalam UU SPPA, yaitu:
      Anak  yang berkonflik dengan hukum/ Pelaku
      Anak  yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) dan
      Anak yang menjadi saksi  tindak pidana (Anak Saksi )
Selain itu ABH yang dimaksud sudah masuk kategori usia pertanggungjawaban pidana, yaitu:
1.      Usia pertanggung jawaban pidana Anak  sekurang-kurangnya 12 tahun
2.      batasan usia anak yang bisa dikenakan penahanan sekurang-kurangnya 14 tahun
3.      Batas usia anak yang dapat dijatuhi  pidana adalah  sekurang-kurangnya 14 tahun
Selanjutnya ABH tersebut akan mendapatkan proses litigasi yang cepat dan berbatas waktu dan wajib diupayakan proses diversi[12] yang merupakan upaya mediasi penal[13] dan diakui dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Proses diversi ini juga ternyata dalam aturannya berisfat limitatif, karena proses diversi hanya berlaku 1 (satu) kali untuk ABH pelaku dalam semua tingkatan proses baik oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim dengan ketentuan yang dilakukan pelaku tersebut merupakan kejahatan pertama kali dan bukan pengulangan, usia pelaku masih anak dan ancaman hukuman dibawah 7 (tujuh) tahun, sebagimana juga diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.
Alasan utama adanya perlakukan khusus bagi anak yang berkonflik dengan hukum baik pelaku, korban maupun saksi adalah lebih kepada perubahan paradigma penegakan hukum dalam hukum pidana tentang keadilan, dari Retributive Justice (menekankan kepada pembalasan dan anak sebagai objek) kemudian ke Restitutive Justice (menekankan keadailan dalam bentuk ganti rugi) dan yang terakhir pada saat ini untuk mencapai Restorative Justice dengan menekankan kepada beberapa hal, yaitu:
-          Menekankan keadilan pada perbaikan/ pemulihan keadaan
-          Berorientasi pada korban
-          Memberikan kesempatan pada pelaku untuk mengungkapkan rasa sesalnya pada korban dan sekaligus bertanggung jawab.
-          Memberikan kesempatan kepada pelaku dan korban untuk bertemu untuk mengurangi permusuhan dan kebencian.
-          Mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat
-          Melibatkan anggota masnyarakat dalam upaya pemulihan
Melihat dari paparan berkenaan dengan penanganan hukum terhadap ABH pelaku, termasuk pelaku vandalism memang perlu ada perlakukan berbeda dan masyarakat perlu tahu tentang peraturan ini, karena posisi ABH sebagai pelaku sebenarnya adalah juga korban yang perlu diselamatkan untuk dipulihkan agar asset bangsa masa depan ini dapt lebih baik lagi dan tidak terjadi pengulangan untuk kejahatan yang lain dimasa akan datang, serta menjadi tanggung jawab setiap pihak tidak hanya bagi orang tua pelaku tetapi juga masyarakat dan Negara.

Penutup
Penanganan aksi vandalisme dari kacamata hukum positif di Indonesia tidak hanya sebatas penegakan hukum pidana saja tetapi juga dapat menggunakan pendekatan hukum perdata. Hal ini menjadi penting ketika pelaku tidak hanya dihukum baik berupa tindakan namun juga perlu memperhatikan kepentingan korban, agar ada efek jera dan proses perbaikan terhadap benda atau asset yang dirusak
Selain itu penanganan hukum bagi pelaku vandalisme juga harus memperhatikan siapa pelakunya, dewasa atau masih anak-anak. Jika pelakunya masih anak maka perlu ada penanganan khusus agar sang anak dapat mengikuti proses rehabilitasi terhadap perilaku yang pernah dilakukan dan juga tidak ada pengulangan atas tindakan serupa ataupun kejahatan lainnya di masa akan datang.


[1] Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta sekaligus Advokat di Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Sahabat Anak, Perempuan dan Keluarga (SAPA)
[2] Pengertian Remaja Menurut Para Ahli, http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/, diakses pada 20 April 2016 jam 21.40 WIB
[3] Ibid
[4] Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja, http://grupsyariah.blogspot.co.id/2012/06/faktor-faktor-penyebab-terjadinya.html, diakses pada 20 April 2016 jam 23.33 WIB
[5] 10 Penyebab Kenakalan Remaja, http://health.detik.com/read/2011/01/23/100537/1552483/1075/10-penyebab-kenakalan-remaja, diakses pada 20 April 2016 jam 23.40 WIB
[6] Ibid
[7] Perbedaan  Streetart, Mural dan Vandalisme, http://warihsenoz.blogspot.co.id/2016/01/perbedaan-streetart-mural-dan-vandalisme.html, diakses pada 20 April 2016 jam  22.00 WIB
[8] Ibid
[9] Vandalisme, Graffiti dan Mural Sama Gak Sih??, http://www.kompasiana.com/irraisa.lisseptiyana/vandalisme-graffiti-dan-mural-sama-gak-sih_54f74bcda33311af2c8b45a3, diakses pada 20 April 2016 jam 22.15 WIB
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional / Tenaga Kesejateraan Sosial berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. (Pasal 8 UU SPPA), sedangkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. (Pasal 1 UU SPPA)
[13] Mediasi Penal adalah cara penyelesaian perkara pidana anak melalui proses perundingan yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka, dan pihak lain yang terkait untuk memperoleh kesepakatan perdamaian dengan dibantu Mediator


Share:

Kontak Kami :

Email : info@konsultan-hukum.com dan konsultasihukum24jam@gmail.com

Konsultan Kekayaan Intelektual

IPLC Law Firm

Legal Trust

Popular Posts

Recent Posts