Advokat, Konsultan Hukum, Konsultan HKI, Kurator dan Pengurus WA : 0813.17.906.136

Batasan Antara Wanprestasi dengan Penipuan






Berdasarkan Pasal 378 KUHP yang berbunyi : "Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun."


Unsur-Unsur Perbuatan Penipuan Adalah Sebagai Berikut :

1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)


Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian termasuk wanprestasi atau merupakan sebuah penipuan maka kita harus melihat pada point 3 diatas yaitu Batasan antara Wanprestasi dengan Penipuan yaitu terletak pada "tempus delicti" atau waktu ketika "perjanjian atau kontrak itu ditutup" atau perjanjian/kontrak ditandatangani. Apabila "setelah" (post facatum) kontrak ditutup/ditandatangani diketahui adanya tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu dari salah satu pihak, maka per buatan itu merupakan wanprestasi. Sebaliknya jika kontrak setelah ditutup/ditandatangani ternyata sebelumnya (ante factum) ada tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu itu telah disembunyikan oleh salah satu pihak maka perbuatan itu merupakan penipuan. (Sumber : Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan, Dr. Yahman, S.H, M.H Penerbit Kencana).



Berdasarkan rumusan tersebut, unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
Unsur poin 3 di atas yaitu mengenai upaya/cara adalah unsur utama untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penipuan.
Nah jika pada sebuah perjanjian utang-piutang atau jual-beli, penting diketahui apakah ada niat untuk melakukan kejahatan dengan menggunakan nama palsu, tipu daya atau rangkaian kebohongan, sebelum dibuatnya perjanjian. Jika sejak awal sudah ada pemalsuan nama maka perkara perjanjian hutang piutang atau jual-beli tersebut masuk ke ranah hukum pidana. Namun, jika terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dalam suatu perjanjian setelah dibuatnya perjanjian tersebut, maka hal itu merupakan wanprestasi.
- See more at: http://www.gresnews.com/berita/tips/31122-tips-alasan-kasus-hukum-perdata-berubah-menjadi-pidana/0/#sthash.Blas81ov.dpuf
Share:

Prosedur PK Perkara Pidana




  1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan pemidanaan, terpidana. atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, dan dapat dikuasakan kepada Penasihat Hukumnya.
  2. Permohonan Peninjauan Kembali diajukan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
  3. Permohonan Peninjauan Kembali tidak dibatasi jangka waktu.
  4. Petugas menerima berkas perkara pidana permohonan Peninjauan Kembali, lengkap dengan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut, dan memberikan tanda terima.
  5. Permohonan Peninjauan Kembali dari terpidana atau ahli warisnya atau Penasihat Hukumnya beserta alasan-alasannya, diterima oleh Panitera dan ditulis dalam suatu surat keterangan yang ditandatangani oleh Panitera dan pemohon.
  6. Dalam hal terpidana selaku pemohon Peninjauan Kembali kurang memahami hukum, Panitera wajib menanyakan dan mencatat alasan-alasan secara jelas dengan membuatkan Surat Permohonan Peninjauan Kembali.
  7. Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan Peninjauan Kembali, wajib memberitahukan permintaan permohonan Peninjauan Kembali tersebut kepada Penuntut Umum.
  8. Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan Peninjauan Kembali diterima Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan menunjuk Majelis Hakim yang tidak memeriksa perkara semula, untuk memeriksa dan memberikan pendapat apakah alasan permohonan Peninjauan Kembali telah sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
  9. Dalam pemeriksaan tersebut, terpidana atau ahli warisnya dapat didampingi oleh Penasehat Hukum dan Jaksa yang dalam hal ini bukan dalam kapasitasnya sebagai Penuntut Umum ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
  10. Dalam hal permohonan Peninjauan Kembali diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani pidananya, Hakim menerbitkan penetapan yang memerintahkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dimana terpidana menjalani pidana untuk menghadirkan terpidana ke persidangan Pengadilan Negeri.
  11. Panitera wajib membuat Berita Acara Pemeriksaan Peninjauan Kembali yang ditandatangani oleh Hakim, Jaksa, pemohon dan Panitera. Berdasarkan berita acara pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh Majelis Hakim dan Panitera.
  12. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan.
  13. Permohonan Peninjauan Kembali yang terpidananya berada di luar wilayah Pengadilan yang telah memutus dalam tingkat pertama:
    1. Diajukan kepada Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama;
    2. Hakim dari Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama dengan penetapan dapat meminta bantuan pemeriksaan, kepada Pengadilan Negeri tempat pemohon Peninjauan Kembali berada;
    3. Berita Acara pemeriksaan dikirim ke Pengadilan yang meminta bantuan pemeriksaan;
    4. Berita Acara Pendapat dibuat oleh Pengadilan yang telah memutus pada tingkat pertama;
  14. Dalam pemeriksaan persidangan dapat diajukan surat¬-surat dan saksi-saksi yang sebelumnya tidak pernah diajukan pada persidangan Pengadilan di tingkat pertama.
  15. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, setelah pemeriksaan persidangan selesai, Panitera harus segera mengirimkan berkas perkara tersebut ke Mahkamah Agung. Tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan Jaksa.
  16. Dalam hal suatu perkara yang dimintakan Peninjauan Kembali adalah putusan Pengadilan Banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan Berita Acara Pemeriksaan serta Berita Acara pendapat dan disampaikan kepada Pengadilan Banding yang bersangkutan.
  17. Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung yang telah disahkan oleh Panitera dikirimkan ke Mahkamah Agung.
  18. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali saja (pasal 268 ayat 3 KUHAP).


Sumber:
- Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 8-11.

Share:

Hukum Acara Perdata : Permohonan Gugatan

Permohonan Gugatan diatur di dalam pasal 118 HIR.

Kegiatan Penggugat :
1. Mendaftarkan surat gugatan ke pengadilan melalui Panitera.
2. Membayar biaya pendaftaran surat gugatan sekaligus persekot biaya perkara.

Kegiatan Kepaniteraan :
1. Menerima pendaftaran surat gugatan dari penggugat.
2. Menerima pendaftaran surat gugatan dari penggugat.
3. Membuat nomor pada surat gugatan.
4. Meneruskan surat gugatan kepada ketua pengadilan.

Kegiatan Ketua Pengadilan :
1. Memeriksa dan meneliti surat gugatan sesuai dengan kompetensinya (kewenangannya).
2. Membentuk majelis hakim yang akan mengadili perkara.
3. Meneruskan surat gugatan kepada hakim yang akan mengadili perkara.

Kegiatan Hakim :
1. Memeriksa dan meneliti surat gugatan sesuai dengan kompetensinya.
2. Menetapkan hari sidang pertama (HSP).
3. Meneruskan HSP kepada Panitera.

Kegiatan Panitera :
1. Membuat daftar perkara yang sudah, sedang dan akan diselenggarakan disebut dengan (ROLL).
2. Membuat surat panggilan sidang.
3. Meneruskan surat panggilan sidang kepada juru sita.

Kegiatan Juru Sita :
1. Membuat berita acara panggilan sidang disebut (RELASS).
2. Menyampaikan surat panggilan sidang kepada pigak (Penggugat + Tergugat).

Jika adan ingin berkonsultasi seputar proses gugat menggugat perkara perdata silahkan kontak kami.
Share:

Hak Buruh Sebelum Bekerja

Setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang belum bekerja (calon buruh) berhak untuk mendapatkan pendidikan dan peningkatan keterampilan yang dapat dipergunakan untuk bekerja. Selain itu, berhak untuk mendapatkan informasi secara terbuka mengenai lowongan pekerjaan.

Sumber : Hukum Perburuhan hal. 153. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia 2014. YLBHI.
Share:

Penjelasan Pasal 372 dan 374 tentang Penggelapan


Pasal 372 KUHP:

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Pasal 374 KUHP:


Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Mengenai Pasal 372 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) mengatakan bahwa penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Bedanya ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya”, sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tindak pidana tidak dengan jalan kejahatan.

Sedangkan mengenai Pasal 374 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa ini adalah penggelapan dengan pemberatan. Pemberatan-pemberatan itu adalah:

1. Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking), misalnya perhubungan antara majikan dengan buruh;

2. Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya, misalnya tukang binatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya;

3. Karena mendapat upah uang (bukan upah yang berupa barang), misalnya pekerja stasiun membawakan barang orang penumpang dengan upah uang, barang itu digelapkannya.

(Sumber : www.hukumonline.com)

Share:

Pengertian Pacta Sunt Servanda

Menurut ajaran Hugo De Groot mengemukakan bahwa azas hukum alam menentukan bahwa "janji itu mengikat" atau pacta sunt servanda.

Share:

Penjelasan Pasal 1466 KUH Perdata

Kata-kata batal demi hukum pada pasal 1466 KUH Perdata harus dibaca dapat dibatalkan. Mariam Darus Badrulzaman.

Share:

Syarat Sah Suatu Perjanjian

Berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata Syarat perjanjian itu ada 4 yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.

Menurut teori kehendak kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak  penerima dinyatakan, misalnya dengan menulis surat.

Sumber : Mariam Darus Badrulzaman

Share:

Penjelasan Pasal 220 KUHP dan Pasal 317 KUHP Tentang Pengaduan Palsu

 Penjelasan Pasal 220 KUHP dan Pasal 317 KUHP :

Pasal 220 KUHP:
Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Pasal 317 KUHP:
(1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.


Perbedaan kedua pasal tersebut :

Pasal 317 KUHP dilakukan dengan maksud untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, namun jika pengaduan atau pemberitahuan palsu tersebut dilakukan tidak dengan maksud menyerang nama baik seseorang, maka dapat dikenakan dengan Pasal 220 KUHP.
 
Untuk dapat dipidana dengan Pasal 220 KUHP atau Pasal 317 KUHP haruslah terdapat adanya unsur kesengajaan. Menurut pendapat dari R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 173 dan hal. 229), jika pengaduan atau pemberitahuan “palsu” tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, misalnya karena keliru atau karena tidak tahu lebih lanjut, tidak dapat dikenakan Pasal 220 atau Pasal 317 KUHP.  

Sumber :  www.hukumonline.com
Share:

Penjelasan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan

Berikut adalah penjelasan dari Pasal 378 KUHP tentang penipuan.



“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun".

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
1.Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan).
2.Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum.
3.Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.


Unsur poin 1 di atas yaitu mengenai upaya/cara adalah unsur utama untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penipuan. Hal ini sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang menyebutkan :

“Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.”
 
 
Tafsir/penjelasan pasal 378 KUHP tentang penipuan :


Berdasarkan Penjelasan R.Soesilo (KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal), Politea Bogor, Tahun 1996. Hal.261 disebutkan bahwa :

* Membujuk = melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian itu.

* Memberikan barang = barang itu tidak perlu harus diberikan (diserahkan) kepada terdakwa sendiri, sedang yang menyerahkan itupun tidak perlu harus orang yang dibujuk sendiri, bisa dilakukan oleh orang lain.

* Menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak = menguntungkan diri sendiri dengan tidak berhak.

* Nama palsu = nama yang bukan namanya sendiri. Nama “Saimin” dikatakan “Zaimin”  itu bukan menyebut nama palsu, akan tetapi kalau ditulis, itu dianggap sebagai menyebut nama palsu.

* Keadaan palsu = misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, notaris, pastor, pegawai kotapraja, pengantar surat pos, dsb-nya yang sebenarnya ia bukan penjabat itu.

* Akal cerdik atau tipu muslihat = suatu tipuan yang demikian liciknya, sehingga seorang yang berpikiran normal dapat tertipu. Suatu tipu muslihat sudah cukup, asal cukup liciknya.

* Rangkaian kata-kata bohong : satu kata bohong tidak cukup, disini harus dipakai banyak kata-kata bohong yang tersusun sedemikian rupa, sehingga kebohongan yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain, sehingga keseluruhannya merupakan suatu ceritera sesuatu yang seakan-akan benar.

* Tentang “barang” tidak disebutkan pembatasan, bahwa barang itu harus kepunyaan orang lain. Jadi membujuk orang untuk menyerahkan barang sendiri, juga dapat masuk penipuan, asal elemen-elemen lain dipenuhinya.
Share:

Kontak Kami :

Email : info@konsultan-hukum.com dan konsultasihukum24jam@gmail.com

Konsultan Kekayaan Intelektual

IPLC Law Firm

Legal Trust

Popular Posts

Recent Posts