Advokat, Konsultan Hukum, Konsultan HKI, Kurator dan Pengurus WA : 0813.17.906.136

Pidana Tambahan didalam UU Tipikor

Pidana Tambahan di dalam KUHP diatur di dalam Pasal 10.b yaitu terdiri dari :

1.    Pencabutan hak-hak tertentu.
2.    perampasan barang-barang tertentu.
3.    Pengumuman putusan hakim.
 
Karena UU Tipikor merupakan UU khusus maka berlaku "azas lex specialis derogat lex generalis", maka hakim dalam memutuskan adanya Pidana Tambahan hendaknyalah mengacu kepada Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999.

Pidana tambahan berkenaan dengan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan di dalam Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor yaitu sebagai berikut :


(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai
pidana tambahan adalah :

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Jika anda membutuhkan jasa pengacara Tipikor bisa kontak kami di SMS/WA/LINE : 0813.17.906.136
Share:

Tafsir Pasal 351 KUHP

Pasal 351
(1).Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500.
(2).Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
(3).Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4).Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
(5).Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat di hukum.




Tafsir Pasal 351 KUHP menurut Yurisprudensi :

Penganiayaan (mishandeling) :

-  Sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan)
Contoh : Misalnya mendorong terjun kekali sehingga basah, menyuruh orang berdiri diterik matahari    dan lain sebagainya.

-  Menimbulkan rasa sakit
Contoh : Menyubit, menempeleng, memukul.

-  Menimbulkan luka
Contoh : Mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dll.

-  Dan menurut ayat (4) adalah  sengaja merusak kesehatan orang








Penganiayaan menurut Pasal 351 adalah bentuk "Penganiayaan Biasa’’.

Sedangkan jika menimbulkan luka berat maka dapat dikenakan Pidana dengan Pasal 354 (penganiayaan Berat).

Sedangkan jika menimbulkan kematian dapat dipidana dengan Pasal 388 (pembunuhan)

Jika supir lalai mengendarai kendaraan dan menyebabkan kematian orang lain maka dapat dikenakan Pasal 359  (karena salahnya menyebabkan matinya orang lain)


Adapun bunyi Pasal 359 KUHP menyatakan: “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”

Menurut R. Soesilo (1996), kematian dalam konteks Pasal 359 KUHP tidak dimaksudkan sama sekali oleh pelaku. Kematian tersebut hanya merupakan akibat kurang hati-hati atau lalainya terdakwa (delik culpa). Jika kematian itu dikehendaki terdakwa, maka pasal yang pas adalah 338 atau 340 KUHP.





Percobaan malakukan "Penganiayaan biasa’’ ini tidak dapat dihukum, demikian pula percobaan melakukan "Penganiayaan ringan’’ (pasal 352). Akan tetapi percobaan pada penganiayaan tersebut dalam pasal 353,354,355 dihukum
Share:

Jasa Pengacara Artis

Jika anda memerlukan jasa pengacara artis, kami bisa membantu anda untuk menjadi pengacara artis. Pengacara kami telah banyak membantu artis-artis terkenal Ibu Kota untuk menyelesaikan berbagai kasus yang dihadapinya. Jika anda membutuhkan jasa pengacara artis jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi kami segera di SMS/WA/LINE : 0813.17.906.136
Share:

Definisi Saksi dalam KUHAP

Di dalam Pasal 1 angka 26 di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana saksi didefinisikan sebagai :
"Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan  penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang  suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri".

Kemudian didalam Pasal 1 angka 27 disebutkan pula :
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.

Lalu apakah seorang saksi yang tidak mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri dapat disebut sebagai saksi ?

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 atas uji materi KUHAP. menyebutkan bahwa definisi saksi juga termasuk orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, tetapi juga setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa.

Mahkamah Konstitusi menilai pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP. Sebab, arti penting saksi bukan terletak pada apa yang dilihat, didengar, atau dialami sendiri peristiwa pidana, melainkan relevansi kesaksiannya.

Definisi saksi yang menguntungkan yang diatur Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP tidak harus dikualifikasikan sebagai orang yang melihat, mendengar, mengalami sendiri suatu peristiwa pidana seperti diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP.

Didalam Pasal 65 KUHAP disebutkan pula bahwa :

"Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang  memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya".

Kemudian di Pasal 116 ayat (3) disebutkan bahwa :

Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.

Kemudian di Pasal 116 ayat (4) disebutkan bahwa :

Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.

Sehingga, Seorang tersangka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, dapat menghadirkan saksi yang dapat menguntungkan dirinya, walaupun saksi tersebut tidak melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu tindak pidana, namun seorang penyidik wajib melihat relevansi kesaksiannya.

Sebagai contoh, misalkan jika saksi ternyata mendengar dan melihat suatu kejadian pidana tidak secara langsung namun melalui rekaman suara atau rekaman gambar, selama rekaman suara dan gambar tersebut dapat dibuktikan ternyata otentik maka saksi yang tidak mendengar secara langsung dan melihat dan mengalami secara langsung tersebut, maka dapat dikualifikasikan sebagai saksi.

Begitu juga seorang saksi yang membuat sebuah kebijakan, namun saksi tersebut tidak melihat, mendengar dan mengalami suatu dugaan tindak pidana maka dapat dihadirkan sebagai saksi.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, maka definisi saksi bukan hanya saksi fakta namun saksi alibi pun dapat diperdengarkan kesaksiannya dalam proses penyidikan dan persidangan.

Dalam Putusannya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelfa mengatakan bahwa :

Menegasikan hak tersangka/terdakwa untuk mengajukan saksi/ahli yang menguntungkan dalam tahap penyidikan dan hanya memanggil saksi yang menguntungkan di proses persidangan saja merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 angka (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Anda membutuhkan Pengacara ? Kontak kami di SMS/WA/LINE : 0813.17.906.136



Share:

Dua Jenis Delik Aduan

Menurut R. Soesilo Delik aduan di dalam Buku (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 87) itu dibagi kedalam dua jenis yaitu :


a.    Delik aduan absolut, adalah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.
Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284 KUHP) yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan penuntutan.
b.    Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367 KUHP (Pencurian dalam keluarga), lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah. Misalnya, seorang bapak yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362 KUHP) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus berbunyi: “,,saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.
Untuk delik aduan, pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia. Atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia. Dan orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
Share:

Jasa Pengacara di Bidang Korupsi

Jika anda terkena kasus korupsi, kami bisa membantu untuk mempertahankan hak-hak anda agar anda bisa dengan adil diperlakukan. Segera hubungi kami, kami akan menghubungkan anda dengan Pengacara spesialis bidang korupsi. Biaya pendampingan yang kami berikan kami berikan dengan seoptimal dan semaksimal mungkin untuk memberikan jalan keluar dan putusan yang seadil-adilnya bagi anda. Segera hubungi jasa pengacara korupsi kami di SMS/WA/LINE : 0813.17.906.136
Share:

Proses Eksekusi Hak Tanggungan Rumah

Objek Hak Tanggungan :

Berdasarkan Pasal 4 (1) UU No. 4 Tahun 1996 tentang HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITANDENGAN TANAH dinyatakan bahwa :
 
Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah :
 
1. Hak Milik.
2. Hak Guna Usaha.
3. Hak Guna Bangunan. 

Biasanya ketika kita meminjam uang ke bank suka menjaminkan Sertifikat Hak Milik dari rumah kita tersebut, sehingga jika kita wanprestasi, Bank dapat menjual rumah kita tersebut melalui prosedur lelang. Dan lelang ini dinamakan dengan Lelang Eksekusi yaitu lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan, dokumen-dokumen yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Adapun dasar hukum lelang eksekusi ini adalah Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 tentang HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITANDENGAN TANAH.

Adapun bunyi pasal 6 tersebut adalah :

Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.


Metode Lelang Eksekusi ialah melalui Parate Eksekusi,[8] yaitu Pemegang Hak Tanggungan, dalam hal ini Bank, menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil pelelangan umum tersebut. Parate Eksekusi tersebut dilaksanakan berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertipikat Hak Tanggungan menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 20 (1) dinyatakan bahwa :
(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

Pada dasarnya metode Lelang Eksekusi tersebut memiliki prinsip yaitu proses Lelang Eksekusi tanpa campur tangan Pengadilan, dalam hal ini  yaitu eksekusi dilakukan tanpa persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri (fiat Ketua Pengadilan Negeri).  

Jika anda keberatan atau menolak dengan upaya pelelangan ini, maka Bank pada prakteknya akan mengupayakan alternatif pelaksanaan lelang dengan fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri. Dimana Pengadilan Negeri akan menyampaikan aanmaning kepada debitur agar debitur datang menghadap pada hari yang ditentukan dan melaksanakan kewajibannya pada Bank, apabila aanmaning tidak dipatuhi oleh debitur, maka Pengadilan Negeri akan melakukan sita eksekusi atas jaminan debitur tersebut. 

Jika anda membutuhkan bantuan pengacara untuk menolak upaya pelelangan oleh Bank ini maka tim pengacara kami bisa membantu anda : Silahkan SMS/WA/LINE : 0813.17.906.136 kami akan membantu anda.
 

Share:

Proses dan Jangka Waktu Pemeriksaan Merek di Pengadilan Niaga dan MA


Share:

Perjanjian Utang Piutang

Pengertian Utang Piutang dapat kita temukan dalam Pasal 1721 KUHPer yang berbunyi sebagai berikut : “ Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang tertentu dan habis pemakaian dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengemballikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula”

Didalam Pasal 1721 KUHPer Pengertian Utang Piutang disamakan dengan perjanjian pinjam meminjam.

Dalam Perjanjian Utang Piutang antara pemberi utang dan penerima utang biasanya dilakukan dengan sebuah perjanjian.

Adapun dasar hukum perjanjian atau kontrak terdapat pada Pasal 1313 KUHPerdata yaitu yang berbunyi sebagai berikut : "Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih".


Dalam membuat perjanjian utang piutang haruslah didasarkan kepada Pasal 1320 KUHPer yang memuat ketentuan sebagai berikut :

1.    Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.

Kata sepakat tersebut dapat batal apabila terdapat unsur-unsur penipuan, paksaan dan kekhilafan. Dalam Pasal 1321 KUH Perdata dinyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan/penipuan.

Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri terjadi secara bebas atau dengan kebebasan. Kebebasan bersepakat dapat terjadi secara tegas (mengucapkan kata/tertulis) atau secara diam (dengan suatu sikap/isyarat). Suatu perjanjian dikatakan tidak memenuhi unsur kebebasan apabila mengandung  salah satu dari 3 (tiga) unsur di bawah ini, yaitu :

a. Unsur paksaan (dwang)
Paksaan ialah paksaan terhadap badan, paksaan terhadap jiwa, serta paksaan lain yang dilarang oleh undang-undang.

b. Unsur kekeliruan (dwaling)
Kekeliruan terjadi dalam 2 (dua) kemungkinan yaitu kekeliruan terhadap orang (subjek hukum) dan kekeliruan terhadap barang (objek hukum).

c. Unsur penipuan (bedrog)

Apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar.

Suatu perjanjian yang tidak mengandung kebebasan bersepakat sebab terdapat unsur paksaan dan/atau unsur kekeliruan, dan/atau unsur penipuan dapat dituntut pembatalannya sampai batas waktu 5 tahun sebagaimana dimaksud Pasal 1454 KUHPerdata.

2. Kecakapan untuk membuat perikatan.
Seseorang dikatakan telah cakap hukum apabila telah berumur minimal 21 tahun, atau apabila belum berumur 21 tahun namun telah melangsungkan perkawinan

3. Suatu hal tertentu.
Perjanjian yang dilakukan menyangkut obyek/hal yang jelas.

Artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terperinci (jenis, jumlah, harga) atau keterangan terhadap objek sudah cukup jelas, dapat diketahui hak dan kewajiban masing-masing pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.

4.  Suatu sebab yang halal.
Adalah bahwa perjanjian dilakukan dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan atau perbuatan melawan hukum dan bahwa isi daripada perjanjian tersebut harus mempunyai tujuan/causa yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.


Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, apabila salah satu tidak dipenuhi maka salah satu pihak dapat dimintakan pembatalan (canceling), dalam Pasal 1454 KUH Perdata, jangka waktu permintaan pembatalan perjanjian dibatasi hingga 5 tahun, sedangkan dua syarat yang kedua, dinamakan syarat-syarat objektif, apabila salah satu tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum yang artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada (null and void).
Ke 4 syarat tersebut diatas menjadi dasar untuk membuat surat perjanjian utang piutang. Jadi jika nanti si penerima utang ingkar janji untuk membayar utangnya, maka si pemberi utang dapat melakukan teguran/somasi kepada si penerima utang atau bahkan menggugat ke Pengadilan Negeri.

Jika yang meminjam uang lalai tidak mengembalikan uang pinjaman dari kita maka dalam Hukum Perdata dinamakan dengan Wanprestasi. Pengertian Wanprestasi :

Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian.

Menurut J Satrio: “Suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya”.

Yahya Harahap: “Wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.


Bentuk-bentuk Wanprestasi:
1.Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
2. Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
3. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan
4. Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Tata cara menyatakan debitur wanprestasi:

 1. Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara resmi melalui Pengadilan Negeri.
 2.  Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri.

Isi Peringatan:
1. Teguran kreditur supaya debitur segera melaksanakan prestasi;
2. Dasar teguran;
3. Tanggal paling lambat untuk memenuhi prestasi (misalnya tanggal 9 Agustus 2012).


Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata.

Adapun bunyi pasal 1238 KUHPerdata adalah :

"Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan"

Pasal 1243 KUHPerdata :

Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.

 Selain itu, kreditor berhak meminta ganti rugi sesuai dengan Pasal 1243 KUHPerdata

Debitur wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi prestasi itu”. (Pasal 1243  KUHPerdata). “Ganti rugi terdiri dari biaya, rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata).

–   Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh suatu pihak.

–   Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.

–   Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan atau dihitung oleh kreditur.


Didalam Pasal 1381 KUH Perdata disebutkan 10 cara penghapusan suatu perikatan yaitu :

1. Pembayaran, merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela,
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,
3. Pembaharuan utang,
4. Penjumpaan utang atau kompensasi,
5. Percampuran utang,
6. Pembebasan utang,
7. Musnahnya barang yang terutang,
8. Batal/ pembatalan,
9. Berlakunya suatu syarat batal,
10. Lewat waktu.

Jika anda merasa kesulitan untuk menagih hutang anda, anda bisa kontak kami di SMS/WA/LINE : 0813.17.906.136 


Share:

Perbedaan Penerapan Pasal 207 KUHP dengan Pasal 316 KUHP dan Pasal 27 (3) UU ITE tentang Penghinaan

Berdasarkan Pasal 207 KUHP dinyatakan bahwa : "Barang siapa dengan sengaja dimuka umum, dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan yang ada di Negara Indonesia atau sesuatu majelis umum yang ada di sana, dihukum penjara selama-lamnya satu tahun enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500"

Berdasarkan Penjelasan R. Soesilo, menghina dengan lisan atau tulisan sama halnya dengan menyerang nama baik dan kehormatan dengan kata-kata atau tulisan. Agar penghinaan tersebut dapat dihukum harus dilakukan dengan sengaja dan di muka umum, jika dilakukan dengan tulisan, misalnya dengan surat kabar, majalah, pamfelt dan lain-lain harus dibaca oleh khalayak ramai.

Soesilo menambahkan bahwa obyek-obyek yang dihina itu adalah sesuatu kekuasaan (badan kekuasaan pemerintah) seperti: Gubernur, Residen, Polisi, Bupati, Camat dan sebagainya, atau suatu majelis umum (parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat, dan sebagainya). Penghinaan tersebut bukan mengenai orangnya. Jika yang dihina itu orangnya sebagai pegawai negeri yang sedang melakukan kewajiban yang sah, maka pelaku dikenakan Pasal 316 KUHP.
 Adapun Pasal 316 KUHP menyatakan bahwa : "Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal di atas dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga bila yang dihina itu adalah serang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah. (KUHP 92, 310 dst., 315, 319, 488.)
Selain itu jika penghinaan menggunakan sarana teknologi seperti Handphone atau internet maka dapat dikenakan pula dengan Pasal 27 ayat 3 di dalam UU ITE.

Sedangkan jika penghinaan ditujukan kepada orangnya langsung (PNS) maka akan dikenakan dengan pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE. Contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor: 232/Pid.B/2010/PN.Kdl, terdakwa terbukti melakukan penghinaan terhadap seorang pegawai pemerintah daerah Kabupaten Kendal. Majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa Hak telah mentransmisikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan”, yakni sengaja menghina seorang pegawai pemerintah daerah melalui pesan singkat (SMS) dengan kata-kata yang tak pantas. Dalam hal ini terdakwa terbukti telah melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan denda sebesar Rp. 1 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan.

Selain itu, ada putusan Pengadilan Negeri Nomor 292/Pid.B/2004/PN.Rbi yang menekankan pentingnya penyebutan nama yang dibarengi tuduhan, untuk menentukan muatan pencemaran nama baik atau penghinaan. Tanpa adanya penyebutan nama secara langsung yang dibarengi tuduhan, maka sebuah pernyataan tidak bisa dianggap memiliki muatan penghinaan sebagaimana diatur dalam pasal 27 Ayat 3 UU ITE.


Demikian penjelasan antara kaitan Pasal 207 KUHP dengan Pasal 316 KUHP serta Pasal 27 (3) UU ITE. Jika anda memerlukan konsultasi hukum mengenai penghinaan ini anda bisa WA/SMS/LINE ke nomor : 0813.17.906.136
Share:

Kontak Kami :

Email : info@konsultan-hukum.com dan konsultasihukum24jam@gmail.com

Konsultan Kekayaan Intelektual

IPLC Law Firm

Legal Trust

Popular Posts

Recent Posts