Advokat, Konsultan Hukum, Konsultan HKI, Kurator dan Pengurus WA : 0813.17.906.136

Ketentuan Besaran Nilai Investasi dan Permodalan untuk Penanam Modal Asing (PMA) di Indonesia



Ketentuan besaran nilai investasi dan permodalan untuk Penanam Modal Asing (PMA) di Indonesia di atur di dalam Peraturan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal No. 6 Tahun 2018.
Didalam Peraturan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal ini dijelaskan beberapa hal yaitu sebagai berikut :

1.    Penanaman Modal
Adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh Penanam Modal Dalam Negeri maupun Penanam Modal Asing, untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. (Pasal 1 ayat 1 Peraturan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal No. 6 Tahun 2018).

2. Penanam Modal
Adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan Penanaman Modal yang dapat berupa Penanam Modal Dalam Negeri dan Penanam Modal Asing yang selanjutnya dalam Peraturan Badan ini dapat disebut sebagai Pelaku Usaha. (Pasal 1 ayat 2 Peraturan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal No. 6 Tahun 2018).

3. Penanam Modal Asing
Adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan Penanaman Modal di wilayah Negara Republik Indonesia. (Pasal 1 ayat 4 Peraturan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal No. 6 Tahun 2018).

4. Penanaman Modal Asing
Penanaman Modal Asing yang selanjutnya disingkat PMA adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Penanam Modal Asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan Penanam Modal Dalam Negeri. (Pasal 1 ayat 6 Peraturan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal No. 6 Tahun 2018).

5. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Adalah lembaga pemerintah non-kementerian yang bertanggung jawab di bidang Penanaman Modal, yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Selanjutnya, Besaran nilai investasi dan permodalan ditentukan bagi perusahaan PMA diatur di dalam Pasal 6 Peraturan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal No. 6 Tahun 2018 yaitu sebagai berikut :

(1) Perusahaan PMA dikualifikasikan sebagai usaha besar, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, wajib melaksanakan ketentuan, persyaratan nilai investasi dan permodalan untuk memperoleh Perizinan Penanaman Modal.
(2) Perusahaan dengan kualifikasi usaha besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu :
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha berdasarkan laporan keuangan terakhir; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) berdasarkan laporan keuangan terakhir.
(3) Perusahaan PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, harus memenuhi ketentuan nilai investasi, yaitu:
a. total nilai investasi lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), diluar tanah dan bangunan;
b. nilai modal ditempatkan sama dengan modal disetor, paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);
c. persentase kepemilikan saham dihitung berdasarkan nilai nominal saham; dan
d. Nilai nominal saham sebagaimana dimaksud dalam huruf c, untuk masing-masing pemegang saham paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(4) Dalam hal Penanam Modal dengan kegiatan usaha pembangunan dan pengusahaan properti, ketentuan persyaratan permodalan untuk PMA terkait nilai investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu:
a. berupa properti dalam bentuk bangunan gedung secara utuh atau komplek perumahan secara terpadu dengan ketentuan:
1. nilai investasi lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) termasuk tanah dan bangunan;
2. nilai modal disetor paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) dan nilai penyertaan dalam modal perseroan; atau
b. berupa unit properti tidak dalam 1 (satu) bangunan gedung secara utuh atau 1 (satu) kompleks perumahan secara terpadu,
1. nilai investasi lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) diluar tanah dan bangunan;
2. nilai modal disetor paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah); dan
3. nilai penyertaan dalam modal perseroan untuk masing-masing pemegang saham paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dengan ketentuan Debt to Equity Ratio (DER) 4:1.
(5) Nilai investasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dan/atau ayat (3) harus dipenuhi Perusahaan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung setelah tanggal Perusahaan memperoleh Izin Usaha.
(6) Penanam Modal dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.

Jika anda membutuhkan bantuan untuk Pengurusan Izin Perusahaan ke BKPM bisa kontak kami di WA : 0813.17.906.136
Share:

Gugatan Pembatalan Merek

Gugatan Pembatalan Merek diatur di dalam Pasal 76 UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Yaitu sebagai berikut :

(1) Gugatan pembatalan Merek terdaftar dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21.

Catatan : Dalam mengajukan Gugatan Pembatalan Merek maka Posita dalam Gugatan haruslah berdasarkan kedalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21 UU Merek.

Pihak yang berkepentingan ini adalah pihak ketiga selain dari pemilik merek atau pihak yang menerima lisensi dari pemilik merek. Pihak ketiga biasanya diajukan oleh Pemilik Merek terkenal yang mana mereknya didaftarkan oleh pihak lain di Indonesia yang tanpa memiliki hak mendaftarkan mereknya dengan itikad tidak baik. Selain itu, pihak ketiga adalah pemilik usaha lainnya yang tidak dapat menjual barang atau jasanya di Indonesia karena merek yang digunakan dalam barang atau jasanya sudah ada yang lebih dahulu mendaftarkannya di Indonesia.

(2) Pemilik Merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mengajukan Permohonan kepada Menteri.

Catatan : Pemilik merek yang tidak terdaftar dalam hal ini pengusaha yang menjual barang dan jasanya di Indonesia, atau pemilik merek asing yang terkenal yang tidak dapat menjual barang dan jasanya di Indonesia dapat mengajukan Gugatan Pembatalan merek ke Pengadilan Niaga dengan cara terlebih dahulu mengajukan pengajuan merek ke Ditjen Kekayaan Intelektual. Bukti pengajuan merek ini sangat penting yang akan diajukan dalam pembuktian di Pengadilan Niaga.

(3) Gugatan pembatalan diajukan kepada Pengadilan Niaga terhadap pemilik Merek terdaftar.

Catatan : Gugatan Pembatalan Merek harus diajukan ke Pengadilan Niaga, jika Penggugat atau tergugatnya bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maka harus mengikuti Pasal 85 ayat (2) :

"Dalam hal salah satu pihak bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, gugatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat".



Adapun bunyi dari Pasal 20 adalah :

Merek tidak dapat didaftar jika :  
   
a. bertentangan dengan ideologi negara,peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;      
b. sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;     
c. memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;      
d. memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;      
e. tidak memiliki daya pembeda; dan/atau      
f. merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum. 


Adapun penjelasan dari Pasal 20 : 

Huruf a Yang dimaksud dengan "bertentangan dengan ketertiban umum" adalah tidak sejalan dengan peraturan yang ada dalam masyarakat yang sifatnya menyeluruh seperti menyinggung perasaan masyarakat atau golongan, menyinggung kesopanan atau etika umum masyarakat, dan menyinggung ketentraman masyarakat atau golongan. 

Huruf b Merek tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. 

Huruf c Yang dimaksud dengan "memuat unsur yang dapat menyesatkan" misalnya Merek "Kecap No. 1" tidak dapat didaftarkan karena menyesatkan masyarakat terkait dengan kualitas barang, Merek "netto 100 gram" tidak dapat didaftarkan karena menyesatkan masyarakat terkait dengan ukuran barang. 

Huruf d Yang dimaksud dengan "memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi" adalah mencantumkan keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, khasiat, dan/atau risiko dari produk dimaksud. Contohnya: obat yang dapat menyembuhkan seribu satu penyakit, rokok yang aman bagi kesehatan. 

Huruf e Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "nama umum" antara lain Merek "rumah makan" untuk restoran, Merek "warung kopi" untuk kafe. Adapun "lambang milik umum" antara lain "lambang tengkorak" untuk barang berbahaya, lambang "tanda racun" untuk bahan kimia, "lambang sendok dan garpu" untuk jasa restoran.

Pasal 21 UU Merek :

Pasal 21
(1) Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan :
a. Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
b. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
d. Indikasi Geografis terdaftar.

(2) Permohonan ditolak jika Merek tersebut :

a. merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
b. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau
emblem suatu negara, atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; atau
c. merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

(3) Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penolakan Permohonan Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c diatur dengan Peraturan Menteri.

Penjelasan Pasal 21 :

Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "persamaan pada pokoknya" adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara Merek yang satu dengan Merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara
unsur, maupun persamaan bunyi ucapan, yang terdapat dalam Merek tersebut.

Huruf a
Yang dimaksud dengan "Merek yang dimohonkan lebih dahulu" adalah Permohonan pendaftaran
Merek yang sudah disetujui untuk didaftar.

Huruf b
Penolakan Permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan.

Di samping itu, diperhatikan pula reputasi Merek tersebut yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek dimaksud di beberapa negara.

Jika hal tersebut belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atautidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a
Yang dimaksud dengan "nama badan hukum" adalah nama badan hukum yang digunakan sebagai Merek dan terdaftar.

Huruf b
Yang dimaksud dengan "lembaga nasional" termasuk organisasi masyarakat atau organisasi sosial politik.

Huruf c
Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Pemohon yang beriktikad tidak baik" adalah Pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan Mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.

Contohnya Permohonan Merek berupa bentuk tulisan, lukisan, logo, atau susunan warna yang sama dengan Merek milik pihak lain atau Merek yang sudah dikenal masyarakat secara umum sejak bertahuntahun, ditiru sedemikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah dikenal tersebut. Dari contoh tersebut sudah terjadi iktikad tidak baik dari Pemohon karena setidak-tidaknya patut diketahui adanya unsur kesengajaan dalam meniru Merek yang sudah dikenal tersebut.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Artikel ini ditulis Oleh :

IPLC Law Firm (Intellectual Property Legal Consulting Law Firm)


Apabilan anda ingin melakukan Gugatan Pembatalan Merek anda bisa kontak kami di WA : 0813.17.906.136









x
Share:

Kenaikan Tiket Pesawat, Diaturkah Dalam Peraturan Perundang-Undangan ?


                                                                  Oleh :


1. Indra Rusmi, S.H. M.H.
2. Johan Imanuel, S.H.
3. Nikita Kesumadewy, S.H.
4. Hema Anggiat Marojahan Simanjuntak, S.H.
5. Gunawan  Liman, S.H.
6. Herman, S.H
7. Kemal Hersanti, S.H.


Akhir-akhir ini menjadi trend di Media, bahwa kenaikan tiket pesawat sungguh memberatkan kantong masyarakat. Meskipun akhirnya diumumkan oleh Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) bahwa Tiket Pesawat sudah mengalami penurunan namun masih menyimpan rasa penasaran bagi para penulis yang merupakan praktisi hukum untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kenaikan tiket pesawat, sebab besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan rakyat sangat besar mengingat transportasi udara merupakan salah satu transportasi umum yang sangat dibutuhkan. Adapun pertanyaan yang timbul adalah bagaimanakah tinjauan yuridis kenaikan tiket pesawat dalam hukum di Indonesia sebagai bentuk komitmen dari Pemerintah sebagai regulator dalam mensejahterakan rakyat? Bagaimanakah mekanisme penetapan tarif penerbangan tersebut?

TINJAUAN YURIDIS KENAIKAN TIKET PESAWAT

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

Menurut Penjelasan Prof. H.K. Martono. SH. LLM yang merupakan narasumber Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 (“UU Penerbangan”), menjelaskan terhadap mekanisme tarif angkutan udara dalam bukunya yang berjudul Hukum Udara Publik Nasional dan Internasional pada Hal 248-250 mengatur Tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri dan tarif angkutan kargo. Tarif angkutan penumpang tersebut terdiri atas golongan tarif pelayanan kelas ekonomi dan non-ekonomi, dalam penetapan golongan tarif angkutan udara niaga berjadwal domestik, Menteri perhubungan harus memperhatikan kepentingan keselamatan dan keamanan penerbangan, kepentingan masyarakat, dan kepentingan penyelengaraan angkutan udara niaga. Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi dihitung berdasarkan komponen besar tarif per rute penerbangan per satu kali penerbangan, untuk setiap yang merupakan hasil perkalian antara tarif dasar dengan jarak serta memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat. Tarif jarak terdiri dari biaya pokok rata-rata ditambah dengan keuntungan wajar; pajak pertambahan nilai (PPn) yang dikenakan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; asuransi pertangungan kecelakaan penumpang yang dikenakan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang dan pertangungan wajib kecelakan penumpang; dan biaya yang dikenakan karena terdapat biaya biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahan angkutan udara diluar perhitungan penetapan tarif jarak antara lain biaya fluktuasi harga bahan bakar (fuel surcharge) dan biaya yang di tanggung oleh perusahaan angkutan udara karena pada saat berangakat atau pulang penerbangan tanpa penumpang, misalnya pada saat hari raya (surcharge). Bedasarkan Pasal 126 UU Penerbangan.
Hasil perhitungan tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tuslah / tambahan (surcharge) tersebut merupakan batas  atas  harga jasa maksimum pada suatau rute tertentu di dalam negeri atas pelayanan angkutan penumpang jasa angkutan udara yang disediakan oleh badan usaha angkutan udara niaga dengan pelayan minimal yang mematuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan yang ditetapkan setelah berkoordinasi dengan asosiasi penguna jasa penerbangan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri. Tarif batas atas tersebut ditetapkan oleh Menteri perhubungan dengan mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen  dari pemberlakuan tarif tinggi oleh badan usaha angkutan udara niaga dan melindungi konsumen dari informasi / iklan tarif penerbangan yang berpontesi merugikan / menyesatkan sehingga ditetapkan tarif batas atas, dan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal untuk melindungi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dari penetapan tarif rendah oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya yang bertujuan untuk mengeluarkan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pesaing dari rute yang di layani.
 Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri yang di tetapkan oleh Menteri perhubungan berdasarkan tarif jarak, pajak, iuran, wajib asuransi, dan biaya tuslah / tambahan (surcharge) harus dilakukan penyebarluasan  tarif batas atas yang telah di tetapkan oleh Menteri, baik yang dilakukan Menteri maupun oleh badan usaha angkutan niaga, antara lain melalui media cetak dan eletronika dan / atau dipasang pada setiap tempat penjualan tiket pesawat udara, kepada konsumen. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri dilarang menjual tiket kelas ekonomi melebihi tarif batas atas yang ditetapkan oleh Menteri perhubungan. Badan usaha angkutan udara yang harga tiket kelas ekonomi melebihi tarif batas atas yang ditetapkan oleh Menteri perhubungan dikenakan sanksi administarif berupa sanksi peringatan dan / atau pencabutan izin rute penerbangan berdasarkan Pasal 127 UU Penerbangan.
Tarif penumpang pelayanan non-ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dan angkutan kargo berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan mekanisme pasar (supply and demand), untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Tarif angkutan udara niaga untuk penumpang dan angkutan kargo tidak berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan. Tarif penumpang angkutan udara niaga dan angkutan kargo berjadwal luar negeri ditetapkan dengan berpedoman pada hasil perjanjian angkutan udara bilateral atau multilateral. Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan peraturan Menteri.
Kebijakan tarif transportasi udara nasional berdasarkan UU  Penerbangan adalah gabungan antara sosialis dan liberal (neo-liberal), kebijakan sosialis dimaksudkan untuk melindungi masyarakat banyak, sedangkan kebijakan liberal dimaksudkan untuk melindungi kelangsungan hidup perusahaan penerbangan. Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah menetapkan tarif ekonomi batas atas untuk melindungi masyarakat banyak, sedangkan tarif  non-ekonomi ditetapkan sendiri oleh perusahaan penerbangan agar perusahaan penerbangan memperoleh dana langsung dari pengguna jasa transportasi udara.


MEKANISME PENETAPAN TARIF KENAIKAN PESAWAT

Terkait Mekanisme Penetapan Tarif Kenaikan Pesawat maka merujuk pada Peraturan Menteri 126 Tahun 2015 Tentang Mekanisme Formula Perhitungan Dan Penetapan Tarif Batas Atas Dan Batas Bawah Penumpang Pelayan  Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri (“PM 126 Tahun 2016”)   yang mencabut keputusan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2014 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 91 Tahun 2014

Ada tiga Bab yang perlu ditanggapi  yaitu BAB II, BAB III dan BAB IV dalam PM 126 Tahun 2015 tersebut. Jika diuraikan sebagai berikut:

  1. BAB II MEKANISME PENETAPAN TARIF
Terdiri dari Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10

  1. BAB III FORMULA PERHITUNGAN TARIF
Terdiri dari Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15

  1. BAB IV PENGAWASAN DAN SANKSI
Terdiri dari Pasal 16 dan Pasal 19

MEKANISME PENETAPAN TARIF

Maka ada beberapa komponen yang menentukan tarif yaitu tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan pajak (Pasal 2 PM 126 Tahun 2015) yang ditetapkan Menteri berdasarkan kelompok pelayanan yang diberikan oleh Badan Usaha Angkutan Udara dengan cara diusulkan oleh Direktur Jendral kepada Menteri Perhubungan untuk ditetapkan berdasarkan koordinasi dengan asosiasi penerbangan sipil dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (Pasal 3 dan Pasal 4 PM 126 Tahun 2015).  Kelompok pelayanan dimaksud terdiri dari tiga: Fully Service (standar pelayanan maksimum, 100 % dari tarif maksimum), Medium Service (standar pelayanan menengah, 90 % dari tarif maksimum), No Frills (standar pelayanan minimum, 85 % dari tarif maksimum) sebagaimana dinyatakan Pasal 5 PM 126 Tahun 2015.
Setelah ditetapkan Menteri Perhubungan maka wajib dipublikasikan oleh pemerintah bersama-sama dengan badan usaha angkutan udara kepada konsumen sekurang-kurangnya melalui media cetak dan elektronik sekurang-kurangnya 15 hari kerja sebelum tarif diberlakukan (Pasal 6 PM 126 Tahun 2016).
Selanjutntya dalam Pasal 7 dan Pasal 8 PM 126 Tahun 2016 dinyatakan adapun Tarif yang telah ditetapkan dilakukan evaluasi setiap satu tahun sekali oleh Direktur Jendral Perhubungan Udara atau apabila terjadi perubahan signifikan yang mempengaruhi kelangsungan kegiatan badan usaha angkutan udara. Perubahan signifikan meliputi:
a.         Perubahan terhadap harga avtur apabila telah mencapai lebih dari Rp 12.000 (dua belas ribu Rupiah) per liter dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut; atau

b.    Perubahan terhadap harga nilai tukar rupiah dan harga komponen biaya lainnya yang menyebabkan penambahan total biaya operasi pesawat udara hingga paling sedikit 10% dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut.

Sehingga pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap besaran tarif  atau menetapkan surcharge/ tuslah. Kemudian jika terdapat rute baru dan belum terdapat tarif maka Direktur Jendral Perhubungan Udara  untuk sementara dapat menetapkan tarif dengan formula perhitungan yang diatur dalam PM 126 Tahun 2015.
Penting untuk diketahui dalam Pasal 9 dan Pasal 10 PM 126 Tahun 2015 sebagai berikut:

Pasal 9

(1)  Badan usaha angkutan udara wajib menetapkan besaran tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi.
(2)  Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi tarif jarak tertinggi yang ditetapkan oleh Menteri dan sesuai kelompok pelayanan yang diberikan.
(3)  Badan usaha angkutan udara dalam menetapkan tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi serendah-rendahnya 30% dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan yang diberikan.

Pasal 10

(1)  Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi sebagaimana  dimaksud dalam pasal 9 wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal paling lama 15 (lima belas) hari kalender sebelum diberlakukan.
(2)  Badan usaha angkutan udara dapat melakukan perubahan tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi dan wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal paling lama 15 (lima belas) hari kalender sebelum diberlakukan. 
(3)    Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahan tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diinformasikan oleh badan usaha angkutan udara paling lama 15 (lima belas) hari kalender sebelum diberlakukan kepada pengguna jasa melalui:

            a. media informasi yang mudah diketahui oleh pengguna jasa angkutan udara; atau
            b. perwakilan badan usaha angkutan udara dan atau mitra penjualan tiket.


FORMULA PERHITUNGAN TARIF

Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 13 PM 126 Tahun 2015:
(1)   Tarif dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diperoleh dari hasil perhitungan biaya pokok per satuan unit produksi ditambah keuntungan.
(2)   Biaya pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari komponen biaya, yaitu:
a.       biaya langsung, terdiri dari biaya tetap dan biaya variable;
b.      biaya tidak langsung terdiri dari biaya organisasi dan biaya pemasaran.

Kemudian mengenai perhitungan tarif dasar sebagai berikut (Pasal 14 PM 126 Tahun 2015):

  1. Perhitungan biaya pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) adalah total    biaya operasi pesawat udara berdasarkan biaya penuh ((fail costing) termasuk tingkat keuntungan (margin) paling banyak sebesar 10%.

  1. Data komponen biaya yang digunakan dalam perhitungan, adalah data keuangan badan usaha angkutan udara pada saat penyusunan tarif dengan memperhatikan tingkat akurasi, kewajaran dan efesiensi biaya serta dapat dipertanggungjawabkan.

  1. Perhitungan biaya operasi pesawat udara sebagai dasar penetapan tarif dasar dan tarif jarak adalah biaya operasi pesawat udara paling efesien dengan populasi yang terbanyak yang dioperasikan oleh badan usaha angkutan udara.
  1. Pembebanan biaya operasi pesawat udara dalam perhitungan tarif dasar angkutan udara penumpang kelas ekonomi dengan menggunakan pesawat jet ditetapkan sebesar 95% dari total biaya operasi.
  1. Biaya per unit (cost p e r unit) yaitu biaya per penumpang kilometer yang diperoleh dari biaya total operasi pesawat udara dengan faktor muat sebesar 65% (enam puluh lima persen) untuk pesawat jet dan 70% (tujuh puluh persen) untuk pesawat propeller.
  1. Tarif dasar untuk pesawat kapasitas sampai dengan 30 tempat duduk untuk jarak lebih besar dari 300 Km menggunakan perhitungan tarif dasar untuk pesawat jenis propeller dengan kapasitas di atas 30 tempat duduk.

Tarif dasar penumpang pelayanan ekonomi bervariasi sesuai jarak, tipe pesawat (jet, proppeler > 30 tempat duduk, proppeler < 30 tempat duduk) termasuk batas tarif atas sebagaimana dinyatakan pada Pasal 15 PM 126 Tahun 2015

PENGAWASAN DAN SANKSI

Pengawasan  dilakukan oleh Direktur Jendral memanfaatkan media eletronik dan massa, laporan dari kantor otoritas Bandar Udara dan atau penyelenggara Bandar Udara atau laporan masyarakat / pengguna jasa (Pasal 16 PM 126 Tahun 2015)

Kemudian mengenai sanksi dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 19 PM 126 Tahun 2015 Pasal 19 :

(1)   Direktur Jenderal dapat mengenakan sanksi administratif terhadap pelanggaran atas ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini, dalam hal pelanggaran tersebut belum diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 30 Tahun 2015 tentang Pengenaan Sanksi Administratif terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan di Bidang Penerbangan.

(2)     Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
           a. peringatan;
           b. pengurangan frekuensi;
           c. pembekuan rute penerbangan;
           d. penundaan pemberian izin rute.

(3)  Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan melalui tahapan peringatan I, II dan III dengan tenggang waktu masing-masing 7 (tujuh) hari kalender.
(4)   Sanksi pengurangan frekuensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan dalam hal badan usaha angkutan udara niaga berj adwal tidak melakukan perbaikan setelah diberikan peringatan ketiga, dengan jangka waktu pengenaan sanksi paling lama 6 (enam) bulan.
(5) Sanksi pembekuan rute atau penundaan pemberian izin rute penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan d diberikan dalam hal badan usaha angkutan udara niaga berjadwal mengulangi melakukan pelanggaran yang sama, dengan jangka waktu pengenaan sanksi paling lama 6 (enam) bulan.


KESIMPULAN

Berdasarkan kajian diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa penetapan tarif kenaikan pesawat harus melewati mekanisme yang telah diatur oleh Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan PM 126 Tahun 2015 harus melalui evaluasi terlebih dahulu dan diumumkan kepada publik setiap ada perubahan harga dari stakeholder.

Kontak Penulis :
Email : johanimanuel85@yahoo.com
HP : 0819.053.941.63





Share:

Isu Ketenagakerjaan Yang Belum Terselesaikan


Oleh Johan Imanuel dan Jarot Maryono (Advokat dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan)


Jelang Debat Capres Ketiga, 17 Maret 2019, salah satu tema adalah ketenagakerjaan. Sebagai praktisi di bidang ketenagakerjaan, penulis merasa perlu menyampaikan beberapa isu ketenagakerjaan yang belum terselesaikan sehingga dapat menambah referensi bagi masyarakat Indonesia. Mengapa? Hal ini dapat dilihat dari Janji Pemerintahan Presiden Jokowi khususnya di bidang ketenagakerjaan mana yang telah terealisasi dan mana yang belum. Adapun lima hal yang menjadi janji Pemerintahan Presiden Jokowi di bidang ketenagakerjaan yaitu memperhatikan permasalahan outsourcing, meningkatkan profesionalisme, menaikkan gaji dan kesejahteraan PNS, TNI dan Polri, menjadikan perangkat desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS), menurunkan pengangguran dengan menciptakan 10 juta lapangan kerja baru selama lima tahun, menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di sektor pertanian, perikanan, dan manufaktur. Dari kelima Janji tersebut terkait dengan regulasi ketenagakerjaan saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu permasalahan outsourcing, menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Permasalahan Outsourcing

Permasalahan outsourcing sepertinya sulit untuk terselasaikan. Sulitnya pengawasan terhadap perusahaan penyedia jasa dalam menentukan Upah merupakan isu populer terkait Outsourcing ini.  Entah itu kurangnya sumber daya manusia ataupun memang perusahaan yang tidak taat hukum meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 telah memperkuat kedudukan pekerja Outsourcing dalam hal pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja / buruh ( Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) sehingga pekerja/buruh harus tetap mendapatkan perlindungan atas hak-haknya yang perusahaanya diambil alih oleh perusahaan lain, selain itu untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang sama persis dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja, maka perusahaan pemberi kerja tersebut harus mengatur agar pekerja outsourcing tersebut menerima fair benefits and welfare tanpa didiskriminasikan dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja sebagaimana ditentukan dalam pasal 65 ayat (4) juncto pasal 66 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Menciptakan Lapangan Pekerjaan Baru

Janji pemerintahan Presiden Jokowi dalam waktu empat tahun adalah menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan telah diklaim oleh Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri mencapai target sebanyak 10.340.690 dan ditargetkan penciptaan lapangan kerja baru sebanyak 2 juta di tahun 2019. Klaim ini tidak dibenarkan oleh pihak serikat pekerja, menurut Said Iqbal Presiden KSPI (2019) mengenai penciptaan lapangan kerja sebagai berikut:
 “...pemerintah menggunakan definisi dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa yang dimaksud dengan pekerja adalah orang yang bekerja satu jam dalam sepekan. Definisi tersebut tidak tepat untuk diklaim dalam pencapaian pemerintah. Sebab, status pekerja tersebut lebih banyak berasal dari sektor informal. Gaji yang mereka miliki pun masih jauh di bawah standar upah minimum regional (UMR)....”  
Hal ini justru menimbulkan kebingungan ke publik karena pihak pemerintah sampai saat ini belum pernah melakukan klarifikasi terhadap bantahan tersebut. Persoalan terkait lapangan pekerjaan baru terkait pula dengan rencana revolusi industri 4.0 dalam hubungan industrial yang belum memiliki dasar hukum yang mumpuni dan apabila diterapkan akan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran di berbagai sektor.

Isu Ketengakerjaan Tahun 2019

Isu terkini, pada tahun 2019 dari versi Menteri Ketenagakerjaan dan kalangan pekerja dirangkum menjadi sebagai berikut :

No.
Versi Pemerintah
(sumber: hukumonline.com)
Versi Labor Institute Indonesia
(sumber: neraca.co.id)
1.
Penciptaan 2 juta lapangan kerja baru
Pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi atau omotomatisasi
2.
Membangun SDM dengan anggaran Rp5,785 triliun
Informalisasi tenaga kerja.
3.
Perlindungan buruh migran Indonesia
BPJS
4.
Jaminan sosial untuk tenaga kerja
Masih tingginya kecelakaan dan Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3)
5.
Pengawasan ketenagakerjaan
Outsourcing
6.
Revisi UU Ketenagakerjaan


Jika dicermati, bahwa muncul lima isu baru yaitu perlindungan buruh migran, jaminan sosial untuk tenaga kerja (BPJS), pengawasan ketenagakerjaan, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi atau omotomatisasi.

Menurut penulis, skala prioritas dalam menyelesaikan isu ketenagakerjaan di tahun 2019 adalah pertama, memastikan bahwa benar-benar lapangan kerja baru hadir di tengah-tengah masyarakat sehingga menjadi jalan keluar apabila telah di implementasikan revolusi industri 4.0 dalam hubungan industrial. Pemerintah sebaiknya bersinergi dengan kalangan pengusaha dan pekerja untuk meyelesaikan berbagai isu tersebut.

Kedua, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan sesegera mungkin dilakukan demi menyesuaikan revolusi industri 4.0 dalam hal hubungan industrial yang sebelum di implementasikan. Hal ini harus dilakukan agar tetap menjaga semangat pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Ketiga, memperkuat pengawasan BPJS, BPJS muncul dengan prinsip gotong royong, sehingga tidak ada salahnya masyarakat dapat dimungkinkan dalam Undang-Undang BPJS untuk berpartisipasi dalam pengawasan fungsi BPJS baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan sehingga sebelum muncul suatu kebijakan dari BPJS, hal tersebut sudah di konsultasikan terlebih dahulu kepada masyarakat. 

Keempat, pengawasan ketenagakerjaan, jika merujuk Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pasal 179 ayat (1), menyebutkan Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri. Menteri Ketenagakerjaan harus lebih transparan ke masyarakat mengenai laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan yang telah disampaikan sehingga dapat dilihat, dinilai serta dikoreksi sehingga pengawasan ketenagakerjaan selaras, serasi dan seimbang dengan pembangunan ketenagakerjaan.

Kelima, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, perlunya mengakomodir berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan atau mempertegas norma baru dalam revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ini penting bagi perkembangan Hukum Ketenagakerjaan yang selalu mengikuti perkembangan jaman. Disamping itu, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan ini sekaligus dapat dilakukan menyesuaikan dengan implementasi revolusi industri 4.0 tanpa mengurangi nilai-nilai yang terkandung dalam pembangunan ketenagakerjaan.

Keenam, pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi atau omotomatisasi, alasan pemutusan hubungan kerja model seperti ini tidak diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sehingga apabila perusahaan yang melakukan hal tersebut maka hal ini merupakan kesewenang-wenangan terhadap pihak pekerja.  Pemerintah perlu membantu mengambil langkah strategis yang sama-sama menguntungkan bagi pihak pengusaha dan pekerja. Namun demikian, apabila Perselisihan Hubungan Industrial tidak bisa dihindari, maka wajib dilaksanakan sesuai dengan pasal 136 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 200, yaitu Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat; ayat (2), Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

Ketujuh, belum semua perusahaan atau pemberi kerja menerapkan sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana yang telah jelas diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 pasal 59 ayat (1):

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu:
a.    Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.    Pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.    Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.    Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Dan ditambahkan dalam pasal 59 ayat (4) bahwa Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Namun kenyataannya hal tersebut di atas belum terimplementasi oleh perusahaan atau pemberi kerja, padahal konsekuensi hukumnya atas pelanggaran tersebut maka sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) batal demi hukum dan berubah secara otomatis menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau dengan kata lain pekerja terkait otomatis demi hukum, berubah statusnya dari pekerja dengan sistem kerja kontrak tersebut (pekerja kontrak/karyawan kontrak) menjadi pekerja tetap/karyawan tetap.

Kedelapan, penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)  yang secara aktual dan nyata belum sepenuhnya terimplementasi dengan baik dan benar sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 87 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juncto Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Hal ini dapat terlihat dengan masih adanya kecelakaan kerja yang terjadi di tempat kerja


Share:

Kontak Kami :

Email : info@konsultan-hukum.com dan konsultasihukum24jam@gmail.com

Konsultan Kekayaan Intelektual

IPLC Law Firm

Legal Trust

Popular Posts

Recent Posts