Advokat, Konsultan Hukum, Konsultan HKI, Kurator dan Pengurus WA : 0813.17.906.136

Aksi Vandalisme dalam Kacamata Hukum Positif Indonesia



Oleh: Andrie Irawan, SH., MH[1]
Email: andrie.legal@merahputih.id , HP/WA: 0813-28-777-614

Pendahuluan
Tata kota yang indah dan teratur merupakan proyeksi umum yang dapat dikategorikan bahwa warga dari kota tersebut rapi dan tertib. Selain itu tentunya kota sebagaimana dimaksud menjadi sebuah hunian yang nyaman untuk siapa saja. Permasalahan kota dalam hal visualisasi representasi kota sebagai tempat yang bersih, sehat, tidak mengganggu pemandangan, rapi dan tertata menjadikan kota memiliki identitas ruang yang tidak bisa dipungkiri dan kokoh. Pribadi kota seperti inilah yang menjadikan sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai pekerja seni (seniman) liar mengembangkan daya imajinasinya dalam sebuah ruang yang bernama ruang publik. Sementara ruang publik sendiri diakui sebagai bagian dari identitas kota yang harus memenuhi standar sebagai kota yang bersih dan tertata dari tangan-tangan manusia yang ingin merusak.
Coretan di dinding pada ruang publik merefleksikan bagaimana seseorang menuangkan keresahan hatinya lewat aksi coret-coret pada dinding. Si pembuat coretan ingin menyampaikan gagasannya lewat ruang publik, atau karena dorongan eksistensi si pencoret yang ingin tampil tanpa pesan sedikitpun. Aksi tersebut dilakukan di kota-kota, seolah-olah telah menjadi kebiasaan yang lumrah, bahkan coretan-coretan tersebut seolah tak menyisakan tembok yang bersih berwarna putih. Dinding menjadi media utama bagi para pencoret dan permukaan yang datar dan luas menjadi sasaran empuk baginya.
Fenomena yang digambarkan dalam tulisan ini tentunya bukan lagi sebatas wacana, melainkan sudah fakta yang membuat wajah kota tidak indah lagi. Hal ini juga dapat memproyeksikan bahwa warga kota yang dimaksud terkesan egois dan cuek (makna cuek ini ditekankan ketika aksi coretan-coretan yang terjadi hanya dibiarkan tanpa ada solusi mengarahkannya ke hal yang lebih positif).
Kebanyakan aksi dari coret-coret tersebut dilakukan oleh remaja yang masih dalam usia sekolah, baik yang masih sekloah maupun tidak. Permasalahan ini menjadi permasalahan sosial dan mengarah kepada penyakit masyarakat yang tentunya tidak dapat dibiarkan atau bahkan kita tidak peduli dengan permasalahan tersebut. Aksi-aksi yang dimaksud dan marak saat ini dikenal dengan istilah Vandalisme, sebelum mencari solusi dalam upaya penanggulanganya tentunya kita perlu mencari akar masalah kenapa hal ini terjadi.

Kenakalan Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Adapun rentang usia remaja antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi perempuan dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi laki-laki.[2]
Remaja berada pada masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.[3]
Melihat definisi tersebut, remaja berada dalam masa peralihan, ketika dalam pembatasan umur menurut hukum remaja berada dalam kategori anak dan dewasa, sehingga pendekatannya jika dilihat dari sisi hukum tentunya akan berbeda, namun tulisan ini akan lebih melihat remaja dari sisi perkembangan. Selain itu jika berbicara masalah remaja yang bersifat negatif atau dikenal dengan kenakalan remaja, patu diperhatikan bahwa kenalakan remaja merupakan tindakan melanggar aturan ataupun norma, baik dari skala kecil sampai dengan besar diantaranya membolos sekolah, melanggar jam malam yang ditetapkan orangtua, hingga kenakalan berat seperti vandalisme, perkelahian antar geng, penggunaan obat-obat terlarang, dan sebagainya.
Dalam batasan hukum, menurut Philip Rice dan Gale Dolgin, penulis buku The
Adolescence, terdapat dua kategori pelanggaran yang dilakukan remaja, yaitu:
1.      Pelanggaran indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak remaja. Perilaku yang termasuk di antaranya adalah pencurian, penyerangan, perkosaan, dan pembunuhan.
2.      Pelanggaran status, di antaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, minum minuman beralkohol di bawah umur, perilaku seksual, dan perilaku yang tidak mengikuti peraturan sekolah atau orang tua.
Tindakan kenakalan remaja yang tidak terkontrol akan menjerumuskan seorang remaja pada perilaku kejahatan remaja (Juvenile Deliquency) yang merupakan salah satu penyakit sosial. Penyakit Sosial atau Penyakit Masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum. Disebut juga sebagai penyakit masyarakat karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi penyakit.

Pemicu dari Kenakalan Remaja
Ada beberapa pemicu ataupun faktor timbulnay permasalahan sosial berupa kenakalan remaja. Beberapa pendapat mengkategorikan faktornya menjadi dua hal, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal dari remaja itu sendiri dilandasi dari beberapa hal, antara lain: Kepribadian yang cenderung agresif dan labil, karena masa remaja dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya. Dimana seseorang meninggalkan masa anak-anak untuk menuju masa dewasa. Masa ini di rasakan sebagai suatu Krisis identitas karena belum adanya pegangan, sementara kepribadian mental untuk menghindari timbulnya kenakalan remaja atau perilaku menyimpang.[4]
Faktor lain yaitu berasal dari eksternal remaja, diantaranya: Keluarga, permasalahan yang timbul dalam keluarga, Menurut Karol Kumpfer dan Rose Alvarado, profesor dan asisten profesor dari University of Utah, dalam penelitiannya, menyebutkan bahwa kenakalan dan kekerasan yang dilakukan oleh anak dan remaja berakar dari masalah-masalah sosial yang saling berkaitan, diantaranya kekerasan yang dilakukan orang tua kepada anak baik dari pengabaian, kekerasan dalam rumah tangga. Ketidakmampuan orang tua dalam menghentikan dan melarang perilaku anak akan membuat perilaku kenakalan tersebut bertahan.[5]
Dalam batasan hukum, menurut Philip Rice dan Gale Dolgin, penulis buku The Adolescence, terdapat dua kategori pelanggaran yang dilakukan remaja, yaitu:[6]
1.      Pelanggaran indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak remaja. Perilaku yang termasuk di antaranya adalah pencurian, penyerangan, perkosaan, dan pembunuhan.
2.      Pelanggaran status, di antaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, minum minuman beralkohol di bawah umur, perilaku seksual, dan perilaku yang tidak mengikuti peraturan sekolah atau orang tua
Selain itu kenakalan remaja juga dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:
1.      Genetis Psikologis, remaja di usia 12-18 tahun sedang berada dalam masa panca roba, dimana pada faes ini remaja sedang mencari jati diri dan tentunya mencari teman sebanyanya untuk saling berkomunikasi dan saling mencurahkan isi hatinya. Remaja pada fase ini sedang menari “aku”nya dan lebih menjolkan “aku”nya dengan sifat keras kepala, kasar dan brutal, jika tanpa adanya pembinaan terarah akan timbul kenakalan remaja.
2.      Secara sosiologi, banyak faktor regulatif seperti misalnya peraturan tata tertib dan norma-norma lain yang berperan dalam kehidupan sosial, kini banyak diabaikan bahkan dilanggar sehingga berakibat logis dari masalah situasi sosial yang pernah dilaluinya ataupun yang sedang dialaminya hal ini mungkin timbul dari kehidupan dalam keluarga, seperti karena dalam perceraian, kesibukan orang tua dalam bekerja, kurangnya komunikasi dalam keluarga dan lain-lain yang kesemua itu dapat menimbulkan kehangatan keluarga tidak pernah ada dalam perkembangan jiwa remaja
3.      Secara sosial ekonomi dan politik, secara sosial ekonomi keadaan susunan keluarga remaja sangatlah bermacam-macam. Ada keluarga mampu, setengah mampu, dan ada yang serba kekurangan. Melihat kondisi tersebut, ada yang menyerahkan pendidikan anaknya sepenuhnya kapada sekolah. Dilain pihak ada juga yang menyebut anak didik dan remajanya dengan mencukupkan berbagai kebutuhannya dengan sejumlah uang yang cukup dan bahkan berlebihan atau yang menyerahkan kepada pengasuhnya atau pekerja rumah tangga sehingga berakibat anak (remaja) mengalami kekosongan jiwa. Ketika lahir kekosangan jiwa kepada anak (remaja) tentunya anak akan mudah gelisah dan rentan akan masukan-masukan negatif dari lingkungannya karena ketidaktangguhan dari jiwa anak (remaja) tersebut, misalnya dalam fenomena aksi politik praktis saat ini maka remaja akan sangat mudah digiring untuk jadi simpatisan.

Vandalisme, Graffiti dan Mural
Vandalisme dan grafiti signifikan mempengaruhi individu dan masyarakat. Penghapusan dan pencegahan vandalisme grafiti sangat mahal untuk masyarakat. Puluhan juta dari uang pembayar pajak dibelanjakan setiap tahun pada membersihkan grafiti dan memperbaiki kerusakan yang menyebabkan. Menghabiskan uang rakyat ini untuk membersihkan grafiti berarti bahwa uang tidak dibelanjakan pada hal-hal yang dapat bermanfaat bagi masyarakat.[7] Vandalisme grafiti bisa menjadi kegiatan yang berbahaya. Graffiti sering diterapkan di lokasi berbahaya, seperti di sepanjang rel kereta api, kereta api koridor dan kereta terowongan.[8]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1989) Vandalisme adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya. Vandalisme sendiri dapat didefinisikan sebagai kegiatan iseng dan tidak bertanggung jawab dari beberapa orang yang berperilaku cenderung negatif.
Vandalisme merupakan simbol ekspresi manusia untuk diakui keberadaannya oleh manusia lain dengan berbagai macam cara. Namun apabila sudah mengarah pada perbuatan negatif, maka akan ada pihak yang merasa dirugikan.
Graffiti sendiri dapat digolongkan dalam aksi vandalisme. Diane Schaefer memberikan pendapat terhadap graffiti yaitu graffiti researchers typically use a broad definition for their topic. Graffiti as an inscription or drawing made on a public surface (as a wall) (Diane Schaefer, 2004 :181).
Graffiti berasal dari bahasa latin, yaitu Graphium yang artinya adalah Tulisan. Graffiti sudah ada sejak zaman dulu, digunakan sebagai media komunikasi dan sarana mistisme dan spiritualisme. Graffiti juga digunakkan sebagai sarana propaganda untuk menyindir dan menunjukkan ketidakpuasaan kepada pemerintah saat zaman Romawi.[9] Graffiti itu sendiri adalah coretan di dinding dengan mempertimbangkan komposisi warna, garis, bentuk dan volume untuk menuliskan kata, simbol atau kalimat tertentu. Alat yang digunakan untuk Graffiti itu biasanya cat semprot (pilox) atau spidol. Kegiatan membuat Graffiti biasa disebutnya sih nge-bomb dan pelakunya disebut sebagai Bomber.[10]
Mural berasal dari bahasa latin Murus yang berarti Dinding. Arti yang lebih luas lagi, Mural adalah lukisan yang dilukis pada bidang permanen seperti tembok, dinding dan sejenisnya. Mural udah ada sejak zaman dulu, dipergunakan sebagai ajang kegiatan spiritual dan ajang eksistensi diri.[11]

Solusi Mengatasi Vandalisme dalam Hukum Positif Indonesia
Vandalisme dalam tulisan ini memang memandangnya adalah tindakan sebuah pelanggaran terhadap ketertiban umum bahkan juga dapat menjadi sebuah kejahatan. Pendekatan hukum positif dalam tindakan vandalisme yang dilakukan oleh remaja tidak hanya sebatas pendekatan dari aspek pidana namun juga dapat menggunakan pendekatan secara perdata.
Pendekatan normatif dalam hukum pidana untuk aksi vandlisme dapat diuraikan dalam beberapa pasal-pasal yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantaranya:
Jika aksi vandalisme yang dilakukan tersbut berkibat adanya pengrusakan rumah (gedung) atau bangunan-bangunan yang dapat mendatangkan bahaya umum bagi barang, bahaya bagi orang lain, atau bahaya maut bagi orang lain, maka pasal yang mungkin digunakan adalah Pasal 200 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja menghancurkan atau merusak gedung atau bangunan diancam:
1.    dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi barang;
2.    dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
3.    dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.”

Terkait pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa supaya dapat dihukum dengan pasal ini, maka perbuatan tersebut harus dilakukan dengan “sengaja” dan harus mendatangkan akibat-akibat sebagaimana termaktub pada sub 1 sampai dengan sub 3 dalam pasal ini.
Mengenai apa yang dimaksud dengan menghancurkan dan merusak, S.R. Sianturi, S.H. (Ibid) menjelaskan bahwa menghancurkan adalah membuatnya sama sekali binasa atau musnah, rusak berantakan dan bahkan sudah tidak berwujud lagi ibarat sepeda digilas stomwals (kendaraan penggilas jalan). Sedangkan merusak adalah membuat sebagian dari benda itu rusak yang mengakibatkan keseluruhan benda itu tidak dapat dipakai.
Melihat pada uraian di atas, jika perbuatan orang tersebut hanya mencoret-coret rumah Anda yang tidak mengakibatkan bahaya baik bagi barang maupun bagi nyawa orang lain, serta perbuatan tersebut tidak ada maksud untuk membuat Anda melakukan sesuatu sesuai keinginan si pelaku, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.
Akan tetapi, jika yang melakukan hal tersebut lebih dari 1 (satu) orang, maka dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 170 ayat (1) KUHP:

“Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”

R. Soesilo (Ibid) menjelaskan bahwa yang dilarang dalam pasal ini adalah “melakukan kekerasan”. Kekerasan yang dilakukan ini biasanya terdiri dari “merusak barang” atau “penganiayaan”, akan tetapi dapat pula kurang daripada itu; sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu pada orang lain atau rumah, atau membuang-buang barang-barang dagangan, sehingga berserakan, meskipun tidak ada maksud yang tentu untuk menyakiti orang atau merusak barang itu.
Mengenai yang dimaksud dengan “tenaga bersama”, S.R. Sianturi, S.H., dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, mengatakan bahwa beberapa sarjana berpendapat tidak cukup hanya dua orang saja. Ini karena istilah “dengan tenaga bersama” lebih mengindikasikan suatu gerombolan manusia. Akan tetapi ada sarjana lainnya (antara lain Noyon) yang berpendapat bahwa subjek inin sudah memenuhi syarat jika ada dua orang (atau lebih).
Penggunaan pasal ini dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis Nomor : 139 / Pid.B / 2011 / PN.Bks. Dalam putusan ini, terdakwa bersama-sama dengan orang lain (yang telah dipidana) melakukan aksi dengan menggunakan kekerasan terhadap barang, yaitu memecahkan kaca nako dengan menggunakan batang kayu bambu runcing yang dilakukan oleh terdakwa dan beberapa orang lainnya, selain itu beberapa dari mereka mencoret dinding Kantor Balai Desa menggunakan cat semprot "PILOK”' berwarna merah dengan tulisan "DISEGEL KANTOR SETAN", bahkan ada yang melempar telur busuk kedinding Kantor Balai Desa Sungai Cingam. Atas perbuatan terdakwa dan orang-orang tersebut, terdakwa dipidana berdasarkan Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Selain itu, dalam dataran praktek perihal aturan untuk menjerat pelaku vandalism juga masih sangat lemah, biasanya pelaku dijerat menggunakan Pasal 489 ayat (1) KUHP:

“Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah”

Makna “kenakalan” dalam pasal dimaksud menurut R Soesilo adalah semua perbuatan orang, berlawanan dengan ketertiban umum, ditujukan pada orang, binatang dan barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, yang tidak dapat dikenakan salah satu pasal khusus dalam KUHP.
Mengenai denda dalam pasal 489 ayat (1) KUHP, berdasarkan Pasal 3 dan 4 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, menyatakan sebagai berikut:

Pasal 3 PERMA No. 2 Tahun 2012:
“Tiap jumlah maksimum hukuman dengan diancamakan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (1) dan ayat (2) dilipatgandakan menjadi 1000 (seribu kali)

Pasal 4 PERMA No. 2 Tahun 2012:
“Dalam menangani perkara tindak pidana yang didakwa dalam pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib memperhatikan Pasal 3 diatas”

Selain dari sudut pandang hukum pidana, pendekatan untuk mengatasi aksi vandalisme ini juga dapat menggunakan hukum perdata. Ketentuan pasal yang paling dimungkinkan dalam mengatasi aksi tersebut adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dengan melakukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum. Adapun isi pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut:
a.    Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);
b.    Perbuatan itu harus melawan hukum;
c.    Ada kerugian;
d.    Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
e.    Ada kesalahan.
Sedangkan, yang termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan yang:
1.    Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2.    Melanggar hak subjektif orang lain;
3.    Melanggar kaidah tata susila;
4.    Bertentangan dengan azas kepatutan ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Hal yang menjadi titik poin adalah harus ada perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku. Perbuatan tersebut melawan hukum yaitu melanggar hak dasar manusia untuk hidup tentram dan bebas dari gangguan baik atas diri sendiri dan keluarga maupun atas barang-barang milik kita. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian, baik materiil dan imateriil. Kerugian yang dialami merupakan akibat dari perbuatan si pelaku

Penanganan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Vandalisme
Sering kali pelaku vandalisme yang ditemui adalah remaja dengan berusia anak (masih dibawah 18 tahun sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), kondisi tersebut dalam kacamata penegakan hukum ternyata tidak dapat dilakuakan sama seperti orang dewasa pada umum, hal ini menjadi berbeda karena jika seorang anak menjadi pelaku kejahatan atau dikenal dengan istilah Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) sebagai pelaku mendapatkan perlakukan khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) (ketentuan ini berlaku sebagai konsekuensi pemenuhan asas lex spesialis derogate legi generalis terhadap KUHP dimana untuk penanganan ABH menggunakan undang-undang khusus).
Namun ketentuan khusus sebagaimana dijelaskan diatas untuk ABH bersifat terbatas/limitative, kategori ABH yang mendapatkan penangann khusus sebagaimana diatur dalam UU SPPA, yaitu:
      Anak  yang berkonflik dengan hukum/ Pelaku
      Anak  yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) dan
      Anak yang menjadi saksi  tindak pidana (Anak Saksi )
Selain itu ABH yang dimaksud sudah masuk kategori usia pertanggungjawaban pidana, yaitu:
1.      Usia pertanggung jawaban pidana Anak  sekurang-kurangnya 12 tahun
2.      batasan usia anak yang bisa dikenakan penahanan sekurang-kurangnya 14 tahun
3.      Batas usia anak yang dapat dijatuhi  pidana adalah  sekurang-kurangnya 14 tahun
Selanjutnya ABH tersebut akan mendapatkan proses litigasi yang cepat dan berbatas waktu dan wajib diupayakan proses diversi[12] yang merupakan upaya mediasi penal[13] dan diakui dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Proses diversi ini juga ternyata dalam aturannya berisfat limitatif, karena proses diversi hanya berlaku 1 (satu) kali untuk ABH pelaku dalam semua tingkatan proses baik oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim dengan ketentuan yang dilakukan pelaku tersebut merupakan kejahatan pertama kali dan bukan pengulangan, usia pelaku masih anak dan ancaman hukuman dibawah 7 (tujuh) tahun, sebagimana juga diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.
Alasan utama adanya perlakukan khusus bagi anak yang berkonflik dengan hukum baik pelaku, korban maupun saksi adalah lebih kepada perubahan paradigma penegakan hukum dalam hukum pidana tentang keadilan, dari Retributive Justice (menekankan kepada pembalasan dan anak sebagai objek) kemudian ke Restitutive Justice (menekankan keadailan dalam bentuk ganti rugi) dan yang terakhir pada saat ini untuk mencapai Restorative Justice dengan menekankan kepada beberapa hal, yaitu:
-          Menekankan keadilan pada perbaikan/ pemulihan keadaan
-          Berorientasi pada korban
-          Memberikan kesempatan pada pelaku untuk mengungkapkan rasa sesalnya pada korban dan sekaligus bertanggung jawab.
-          Memberikan kesempatan kepada pelaku dan korban untuk bertemu untuk mengurangi permusuhan dan kebencian.
-          Mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat
-          Melibatkan anggota masnyarakat dalam upaya pemulihan
Melihat dari paparan berkenaan dengan penanganan hukum terhadap ABH pelaku, termasuk pelaku vandalism memang perlu ada perlakukan berbeda dan masyarakat perlu tahu tentang peraturan ini, karena posisi ABH sebagai pelaku sebenarnya adalah juga korban yang perlu diselamatkan untuk dipulihkan agar asset bangsa masa depan ini dapt lebih baik lagi dan tidak terjadi pengulangan untuk kejahatan yang lain dimasa akan datang, serta menjadi tanggung jawab setiap pihak tidak hanya bagi orang tua pelaku tetapi juga masyarakat dan Negara.

Penutup
Penanganan aksi vandalisme dari kacamata hukum positif di Indonesia tidak hanya sebatas penegakan hukum pidana saja tetapi juga dapat menggunakan pendekatan hukum perdata. Hal ini menjadi penting ketika pelaku tidak hanya dihukum baik berupa tindakan namun juga perlu memperhatikan kepentingan korban, agar ada efek jera dan proses perbaikan terhadap benda atau asset yang dirusak
Selain itu penanganan hukum bagi pelaku vandalisme juga harus memperhatikan siapa pelakunya, dewasa atau masih anak-anak. Jika pelakunya masih anak maka perlu ada penanganan khusus agar sang anak dapat mengikuti proses rehabilitasi terhadap perilaku yang pernah dilakukan dan juga tidak ada pengulangan atas tindakan serupa ataupun kejahatan lainnya di masa akan datang.


[1] Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta sekaligus Advokat di Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Sahabat Anak, Perempuan dan Keluarga (SAPA)
[2] Pengertian Remaja Menurut Para Ahli, http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/, diakses pada 20 April 2016 jam 21.40 WIB
[3] Ibid
[4] Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja, http://grupsyariah.blogspot.co.id/2012/06/faktor-faktor-penyebab-terjadinya.html, diakses pada 20 April 2016 jam 23.33 WIB
[5] 10 Penyebab Kenakalan Remaja, http://health.detik.com/read/2011/01/23/100537/1552483/1075/10-penyebab-kenakalan-remaja, diakses pada 20 April 2016 jam 23.40 WIB
[6] Ibid
[7] Perbedaan  Streetart, Mural dan Vandalisme, http://warihsenoz.blogspot.co.id/2016/01/perbedaan-streetart-mural-dan-vandalisme.html, diakses pada 20 April 2016 jam  22.00 WIB
[8] Ibid
[9] Vandalisme, Graffiti dan Mural Sama Gak Sih??, http://www.kompasiana.com/irraisa.lisseptiyana/vandalisme-graffiti-dan-mural-sama-gak-sih_54f74bcda33311af2c8b45a3, diakses pada 20 April 2016 jam 22.15 WIB
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional / Tenaga Kesejateraan Sosial berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. (Pasal 8 UU SPPA), sedangkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. (Pasal 1 UU SPPA)
[13] Mediasi Penal adalah cara penyelesaian perkara pidana anak melalui proses perundingan yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka, dan pihak lain yang terkait untuk memperoleh kesepakatan perdamaian dengan dibantu Mediator


Share:

Jasa Pembuatan Logo Perusahaan dan Pendaftaran Logonya ke HKI

Kami dapat membantu anda dalam proses pembuatan logo perusahaan dan mendaftarkan merek/logo nya ke Kantor HKI, silahkan klik link : www.gudangbranding.com


Share:

The Best of Judicial Review By The Supreme Court

In accordance with the Decision of the Supreme Court (Mahkamah Agung) Number 22 P / HUM / 2018 dated 31 May 2018, it is a progressive development in the Law in Indonesia that Paralegal only have the function of assist an Advocate. In this moment, The Supreme Court decision is one of the best decisions in 2018. Why? Because The Supreme Court is able to provide legal certainty to the function of Paralegal in the development of law in Indonesia. Then, this decision got many attention from all elements of society not only all Advocates. But it cannot be denied that many parties have not been able to accept The Supreme Court Decision because the Decision deemed to hinder access to legal assistance. if it is examined, The Decision have well provide legal certainty. However, all parties must respect the Supreme Court Decision, this has been stated expressly in accordance with Article 8 paragraph (2) of Regulation No. 1/2011 that: "In the case of 90 (ninety) days after the Supreme Court's decision is sent to the State Administration Agency that issues These laws and regulations, it turns out that the official concerned does not carry out his obligations, by law the relevant laws and regulations do not have legal force. So that the nature of the Supreme Court's Decision relating to Paralegals has automatic legal strength even though the Ministry of Law and Human Rights has not yet revoked two things granted on Article 11 and Article 12. By declaring Article 11 and Article 12 of the Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 1/2018 (Permenkumham Paralegal) does not have legal force so the Paralegal Function becomes certainy in its position in providing legal assistance.

With the revocation of the two Articles in the Permenkumham Paralegal, in the next step must be a corrective actions which can accommodate the Supreme Court's Decision which has been more than 90 days after it was issued.

Paralegal Function

In the decision of the Judicial Review to Regulation Ministry of Law and Human Rights Number 1/2018, it is emphasized that Paralegals do not carry out advocate functions but carry out the function of assisting Advocates. It is prove the ability between Paralegal and Advocate  so far different and cannot be aligned. Paralegal should say thank you for Advocate and the Supreme Court who have created legal certainty over the Function of Paralegal so that they do not collide with the functions of the Advocate profession and still maintain the position of Paralegal in law in Indonesia. This Supreme Court Decision ruling should be appreciated by all groups because it has achieved three legal objectives namely justice (gerechtigheit), expediency (zwechmaerten), and certainty (rechtssicherkeit.) As stated by a legal expert named Gustav Radburch.

If the function is not canceled in providing legal assistance, it will become a stigma over the position of Paralegal which not good impact for  the supremacy of law in Indonesia and has the potential to confuse the society of the functions of the Paralegal itself, and also about their quality, is it same or not like an Advocate?


Corrective Actions

Big hope from the Applicants of Judicial Review and all Advocates in Indonesia, that the Minister of Law and Human Rights must be revoke immediately of  Article 11 and Article 12 of the Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 1/2018 (Permenkumham Paralegal). Then, if both Articles must be conduct to subject of revision, The Minister is better to involve the parties concerned so that the content can be adjusted properly and can be applied properly.

Regarding legal assistance which regulated in Law Number 16/2011 about Legal Aid, it cannot stand alone without a valid Advocate role in accordance with Law Number 18/2003 about Advocate. Then, all of Paralegal training material must be made and supervision by an Advocate to improve their awareness and to know their roles cannot stand alone without an Advocate in litigation and non-litigation matters.

Nevertheless, Paralegal is have a good bumper to the requirements of Paralegal who are not required to Bachelor of Law Degree background and just a minimum age of eighteen years old to learn and understand the basics of procedural law properly. Besides that, it is recommended that Legal Aid Institutions or Organizations that have Paralegal have cooperation and synergy with the Legal Aid Center (Pusat Bantuan Hukum) from Advocate Organizations in Indonesia to work together on compile training materials on Paralegal and instill awareness of Paralegal that Paralegal function as Advocate Assistant.

Some Articles that can be revised in  the Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 1/2018 (Permenkumham Paralegal) adjust to the Supreme Court Decision Number 22 P / HUM / 2018. First, Article 11 - 12, revised to adjust the interpretation of the Supreme Court Decision that Paralegal as a function helps an Advocate; Indeed, only Articles 11 and 12 were canceled by the Supreme Court, but Article 13 and 14 also should be revised as long as the Paralegal function could conduct of litigation and non-litigation. Second, regarding the existence of legal aid organizations or organizations, it is certain that those who have valid Advocates who are legal in accordance with Law Number 18/2003 about Advocate as companion, so that the legal services provided are in accordance with applicable law settlement in terms of procedural law and / or regulation in force in Indonesia . This is related to Article 7 to Article 10 preparation of paralegal training materials that are ideal when cooperation and synergy with Legal Aid Center (Pusat Bantuan Hukum) in Advocate Organizations so that Paralegal know their functions to help an Advocate both litigation and non-litigation in legal aid.


Written By Johan Imanuel, S.H.
Advocate 
Partner Law Firm Bireven and Partner

Share:

Mitigasi Resiko Hukum dalam Proyek Pengadaan

Pengadaaan barang dan jasa pemerintah merupakan aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai wujud dari pelaksanaan tugas kenegaraan dalam mensejahterakan kehidupan rakyatnya, pemerintah berupaya menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh rakyat dalam menjalankan kehidupannya terutama  dalam memenuhi kebutuhan pokok dan rasa aman.

Untuk itulah berbagai regulasi yang mengatur perihal pengadaan barang / jasa pemerintah dibentuk sebagai jaminan kepastian hukum bagi pelaksananya, maupun memberikan perlindungan kepada masyarakat banyak, terutama pengusaha kecil, dan menengah sebagai lapirsan masyarakat yang mayoritas. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan mewujudkan kestabilan pertumbuhan ekonomi bangsa dan negara.

Seiring dengan perkembangan pasar dan dunia bisnis yang cukup pesat,    magnitude pengadaan barang/jasa pemerintah semakin kompleks dengan nilai pengadaaan yang semakin membesar setiap tahunnya. Berbagai regulasi yang ada dibentuk untuk mengatur sedetail mungkin proses pengadaan, sehingga tercipta rasa aman bagi penyedia dan pemerintah itu sendiri. Pemanfaatan peluang melalui tekhnologi menjadi faktor penunjang utama dalam proses pengadaan. Hal inilah yang melatar belakang-i diterbitkannya perpres 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang diundangkan pada 2 Maret 2018.

Dengan kompleksitas pengadaan barang / jasa menjadikan mengaitkan kegiatan ini dengan berbagai aspek hukum, baik perdata, administrasi negara, dan pidana. Oleh karenanya agar tercipta kondisi yang aman dan tertib dalam proses hingga akhirnya diperlukan mitigasi hukum sebelum merencanakan sebuah pengadaan.  Mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko, dalam hal ini adalah risiko menyimpangan terhadap ketentuan perundangan sehingga mengandung ancaman didalamnya sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara dan berujung pada dakwaan atau gugatan di pengadilan. Oleh karenanya menurut Dr. Dian Puji NS., sebagai upaya mitigasi risiko hukum setidaknya perlu melakukan beberapa upaya hukum diantaranya :
Pengenalan peraturan perundang-undangan terkait dengan ketaatan hukum;

Pengenalan ketentuan – ketentuan pengadaan dan pengaruhnya dalam pengambilan tindakan hukum pengadaan dalam perspektif hukum administrasi negara;

Pengenalan kerugian negara sebagai mal-administrasi yang termasuk risiko hukum dan kerugian negara sebagai perbuatan melawan hukum pidana formal.

Kompleksitas peraturan perundang-undangan mewajibkan para pelaku pengadaan semakin waspada untuk mengambil sebuah kebijakan. Sebelum menandatangani kontrak pengadaan hendaknya penyedia memperhatikan secara menyeluruh isi dan format kontrak kerja pengadaan tersebut. Meskipun menjadi ranah hukum perdata karena menyangkut kesepakatan yang terjadi antara individu dengan individu meskipun pemerintah dalam hal ini, namun wanprestasi atas pelaksanaan pekerjaan menjadi wilayah hukum pidana apabila terdapat kerugian negara didalamnya. Oleh karenanya memang tepat jika metode yang dipilih dalam hal terjadi wanprestasi adalah penyelesaian sengketa secara alternatif. Sebagaimana diamanahkan dalam Perpres No. 16 tahun 2018 Pasal 85, bahwa penyelesaian sengketa kontrak dapat melalui pengadilan maupun luar pengadilan dan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah). 

Adapun alokasi risiko yang perlu diadakan mitigasi diantaranya  terjadi terhadap :

Pengguna Anggaran (PA)

Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

Pejabat Pengadaan

Kelompok Kerja Pemilihan (KKP)

Agen Pengadaan

Pejabat / Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan

Penyelenggara Swakelola

Oleh karenanya untuk meminimalisir risiko hukum pengadaan perlu diadakan :

Pendidikan dan pelatihan

Pendampingan Hukum dalam hal penyusunan KAK,RAB,HS

Review Spesifikasi tekhnis dan kontrak kerja, serta pendapat ahli kontrak

Advokasi kebijakan melalui perda tentang pengadaan publik

Jika telah terjadi risiko hukum maka tindakan yang dapat dilakukan adalah mencari pendampingan ditahap litigasi baik di Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Umum, Maupun Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Arbitrase Nasional serta Internasional. 


INTAN NUR RAHMAWANTI SH.MH.CPL.CTA.
Intan.nr.only@gmail.com / 0821 16 15 66 77
(Anggota Assosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia)





Share:

Hukum Pidana dalam Perkawinan

Setiap orang pasti menginginkan terjadinya suatu Perkawinan. Tidak ada yang tidak ingin hidup menyendiri terkecuali apabila memiliki alasan atau tujuan khusus. Berbicara mengenai Perkawinan tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu pengertian serta tujuan dari Perkawinan itu sendiri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pengertian serta tujuan mengenai Perkawinan tercantum didalam Pasal 1 yang berbunyi : 
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Tujuan dari Perkawinan pun tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3, yang berbunyi :
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.”
Namun terkadang apa yang menjadi tujuan dari Perkawinan yang telah disebutkan diatas justru berbanding terbalik dengan realita atau kenyataannya, tidak sedikit didalam suatu Perkawinan muncul konflik-konflik yang berkepanjangan dimana dapat menimbulkan putusnya suatu Perkawinan. Didalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan : 
“Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas keputusan Pengadilan.”
Perceraian adalah sebuah peristiwa hukum dimana dapat dipastikan menimbulkan akibat hukum, yakni timbulnya Hak Asuh Anak lalu Harta Bersama atau Harta Gono Gini. Yang memprihatinkan adalah bahwa dari tahun ke tahun terdapat kenaikan angka terhadap Perceraian yang sangat signifikan sekali.
Sekilas mengenai Hak Asuh Anak, dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa :
“Dalam hal terjadinya perceraian :
a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”
Lalu mengenai Harta Bersama, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan mengenai Harta Bersama, yakni dalam Pasal 35 yang berbunyi :
“(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
 (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”
Perkawinan itu sendiri memiliki 2 (dua) sifat yakni monogami dan poligami. Monogami itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni “monos” yang berarti satu dan “gamos” yang berarti perkawinan jadi monogami dapat diartikan pernikahan seseorang yang hanya pada satu pernikahan dan hanya memiliki seorang isteri.
Sedangkan poligami itu sendiri mengutip dari buku “Fiqih Munakahat” karangan Abdul Rahman Ghozali, kata poligami itu terdiri dari dua kata yakni “poli” dan “gami”, dimana secara etimologi “poli” berarti banyak dan “gami” berarti isteri dan secara terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu isteri atau seorang laki-laki beristeri lebih dari seorang tetapi dibatasi paling banyak 4 (empat) orang. Dalam bahasa Yunani, poligami itu sendiri terdiri dari “polus” yang berarti banyak dan “gamos” yang berarti perkawinan. 
Di Indonesia sendiri Perkawinan dapat dikatakan bersifat monogami, sebagaimana tercantum didalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi
“(1) Pada asasnya seorang pria hanya memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.”
Akan tetapi asas monogami dalam pasal diatas ini tidak bersifat mutlak, yang berarti hanya memberikan pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit praktek poligami dan bukan menghapus praktek poligami itu sendiri.
Secara yuridis formal, Poligami diatur didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Patut diperhatikan bahwa Poligami itu sendiri memiliki beberapa ketentuan persyaratan yang harus dipenuhi karena pada kenyataannya di Indonesia ini tidak sedikit yang melakukan poligami dengan “diam-diam” dan kebanyakan poligami dilakukan bukan di hadapan Pengadilan.
A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :
“(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.”
Lalu dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :
“(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.”
B. Kompilasi Hukum Islam
Dalam Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
“(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.”
Kemudian dalam Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
“(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.”
Pemaparan yang telah diuraikan diatas berlaku untuk semua kalangan masyarakat tidak terkecuali kalangan masyarakat yang termasuk kedalam ruang lingkup anggota Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta khususnya kalangan masyarakat yang beragama Islam sedangkan untuk yang beragama non-Islam berlaku peraturan yang berbeda namun tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bagi kalangan masyarakat yang termasuk kedalam ruang lingkup anggota PNS, maka berlaku aturan tambahan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 menyatakan :
“(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat.
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang.”
Bagi kalangan PNS pun berlaku beberapa syarat yang harus dipenuhi apabila ingin melakukan praktek Poligami, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, yang menyatakan:
“(1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini;
(2)   Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
(3)   Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah:
a. ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(4)   Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila:
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dari ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau
e. ada kemungkinan menganggu pelaksanaan tugas kedinasan.”
Bagi kalangan Pegawai Negeri Sipil berlaku sanksi apabila melanggar ketentuan yang berlaku sebagaimana telah disebutkan di atas, yakni dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil menyatakan :
“(1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban/ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.”
Namun perlu diketahui bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Adapun yang menjadi jenis hukuman disiplin berat yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan :
“(4) Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari:
a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
c. pembebasan dari jabatan;
d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan
e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.”
Diatas telah disinggung sedikit mengenai kecenderungan yang terjadi di Indonesia mengenai praktek Poligami yang dilakukan dengan cara “diam-diam”. Mengacu oleh karena sikap yang “diam-diam” tersebut maka dapat diasumsikan bahwa terjadi pelanggaran dalam ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang telah diuraikan sebelumnya.
Kecenderungan praktek Poligami yang dilakukan secara “diam-diam” ini tidak sedikit terjadi di Indonesia, dimana suatu perkawinan yang pertama masih secara sah tercatatkan di mata hukum namun tanpa menghiraukan syarat2 yang berlaku melakukan perkawinan kedua/ketiga/keempat. Dengan demikian dapat dikatakan terjadi sebuah peristiwa hukum yakni menyembunyikan identitas Perkawinan.
Oleh karena itu perbuatan tersebut dapat dijerat Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan : 
“(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun :
1.barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2. barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
 (2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
 (3) Pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1-5 dapat dinyatakan."
Namun dalam hal penjeratan dengan pasal ini terhadap perbuatan tersebut harus dipahamj terlebih dahulu apakah masuk kedalam beberapa unsur yang ada dalam pasal ini atau tidak. Dalam pasal 279 terdapat unsur sebagai berikut :
1. Unsur subyektif yakni “barangsiapa”;
2. Unsur obyektif yang terdiri dari 4 (empat) macam yakni :
  a. Mengadakan perkawinan;
  b. Mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada;
  c. Mengetahui perkawinan-perkawinan pihak lain;
  d. Adanya penghalang yang sah.
Pada pasal 279 ini menjelaskan tentang tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja melakukan perkawinan yang kedua dan dimaksudkan tidak memberitahukan perkawinan yang kedua pada perkawinan yang pertama yang masih bersifat sah di mata hukum (belum terjadinya suatu perceraian atau putusnya perkawinan).
Menurut buku “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” karangan R. Soesilo, menjelaskan bahwa suatu syarat supaya orang dapat dihukum menurut pasal ini ialah orang itu harus mengetahui, bahwa ia dulu pernah kawin dan perkawinan ini masih belum dilepaskan (belum ada perceraian).
Jadi dalam kesempatan ini, kamj berharap bahwa dapat membuka sedikit mengenai ketentuan-ketentuan mengenai Perkawinan, dimana sesungguhnya Poligami diperbolehkan hanya apabila memenuhi persyaratan yang telah ditentukan sebagaimanan yang telah diuraikan diatas dan apabila ternyata terbukti melanggar maka sanksi pidana menanti didepan mata karena pada umumnya hampir sebagian besar kalangan masyarakat tidak mengetahui sanksi pidana ini, mungkin dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai sanksj hukum tersebut.
Semoga artikel ini dapat membantu meski diluar dari kata sempurna.

Penulis :

Indra, S.H (BOGOR)
Kantor Hukum :
Indra, S.H & Partners
Jl. Pahlawan Gg. Masjid No. 22 RT.04 RW.09 Kel. Empang, Kec. Bogor Selatan, Kota Bogor Jawa Barat Indonesia
HP : 0813.1061.5187 WA : 0877.8470.9450
Email : ipartnerslawoffice@gmail.com



 
Share:

Kontak Kami :

Email : info@konsultan-hukum.com dan konsultasihukum24jam@gmail.com

Konsultan Kekayaan Intelektual

IPLC Law Firm

Legal Trust

Popular Posts

Recent Posts