Advokat, Konsultan Hukum, Konsultan HKI, Kurator dan Pengurus WA : 0813.17.906.136

KUHAP : Hak-Hak Tersangka/Terdakwa



·         Hak untuk segera mendapat pemeriksaan. Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik yang selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum, dan tersangka berhak perkaranya segera dimajukan oleh pengadilan ke penuntut umum (Pasal 50 ayat 1 dan ayat 2).
·         Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan didakwakan  kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51)
·         Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik.  Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52 KUHAP).
·         Hak untuk mendapatkan juru bahasa dalam setiap pemeriksaan.  Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat 1, lih. Juga Pasal 177).
·         Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan. Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang/ KUHAP  (Pasal 54)
·         Berhak secara bebas memilih penasihat hukum. Untuk mendapatkan penasihat hukum tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55).
·         Hak wajib untuk mendapat bantuan hukum. Wajib bagi tersangka mendapat bantuan hukum bagi tersangka dalam semua tingkat pemeriksaan jika sangkaan yang disangkakan diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana minimal 15 tahun atau lebih (Pasal 56).
·         Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP (Pasal 57).
·         Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi atau menerima kunjunngan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak (Pasal 58)
·         Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarga atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminana bagi penangguhannya (Pasal 59).
·         Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatakan bantuan hukum (Pasal 60).
·         Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluraganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61).
·         Tersangka atau  terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluragan setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis-menulis (Pasal 62).
·         Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan (pasal 63).
·         Terdakwa berhak untuk diadili di siding pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64).
·         Tersangka tau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang mempunyai keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (Pasal 65).
·         Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66).
·         Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68.)     (Lihat Juga pasal 95Penulis :
SULHADI, S.H. / KONGRES ADVOKAT INDONESIA

Sulhady.sh.sh@gmail.com / 082393651774







Share:

Problematika Hak Konstitusional Atas Kesehatan


Oleh :
INDRA RUSMI. SH. MH – Advokat dan Akademisi
JOHAN IMANUEL. SH - Advokat
BIREVEN ARUAN, SH - Advokat
                         

Latar Belakang
                        Negara adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan. Pada konteks Negara Indonesia, tujuan Negara tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengidentifikasikan Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Setiap kegiatan disamping harus diorientasikan pada tujuan yang hendak dicapai juga harus berdasarkan pada hukum yang berlaku sebagai aturan kegiatan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut, maka dilakukan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terarah, dan terpadu, termasuk di dalamnya adalah pembangunan kesehatan.
              Kesehatan merupakan salah satu faktor penting bagi Negara karena salah satu faktor dalam pembangunan adalah manusia yang sehat dan berpendidikan. Masyarakat yang sehat akan bisa berbuat apa saja untuk mencapai harapan hidup, sebaliknya masyarakat yang tidak sehat akan mengalami keterlambatan dalam segala hal. Posisi kesehatan yang menduduki tangga pertama dari pembangunan manusia, maka kesehatan diakui secara global sebagai Hak Asasi Manusia. Ditegaskan dalam konstitusi World Health Organization (WHO) 1948, bahwa memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak asasi bagi setiap orang.
            Konsep jaminan sosial dalam arti luas meliputi setiap usaha di bidang kesejahteraan sosial untuk meningkatkan taraf hidup manusia dalam mengatasi keterbelakangan, ketergantungan, ketelantaran, dan kemiskinan. Konsep ini belum dapat diterapkan secara optimal di Indonesia, karena keterbatasan pemerintah di bidang pembiayaan dan sifat ego sektoral dari beberapa pihak yang berkepentingan dalam jaminan sosial. Konsep Negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (sosial services), melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.

Aspek Penting Dalam Konstitusi
            Pada dasarnya terdapat beberapa aspek penting terkait pemenuhan hak konstitusi dan perlindungan hukum dalam rangka terselenggaranya program BPJS. Pertama, amanat konstitusi yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa cita-cita luhur bangsa adalah menjamin kesejahteraan rakyatnya. Tercermin dalam Pancasila sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 juga memiliki beberapa Pasal yang menjadi landasan diperlukannya program BPJS sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS. Pasal 28 H ayat (1) secara langsung mengatakan bahwa jaminan sosial menjadi hak setiap manusia. Pada Pasal 34 ayat (1) kembali disebutkan landasan konstitusional diperlukannya sistem jaminan sosial. Landasan konstitusional selanjutnya yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dengan latar belakang untuk membangun sistem yang komprehensif dan memberi “rasa aman” (security) yang lebih luas.
             Kedua, aspek kebutuhan rakyat, jaminan sosial merupakan kebutuhan bagi masyarakat. Jaminan sosial dibutuhkan secara menyeluruh dan tidak terfragmentasi. Aksesabilitas masyarakat yang berbeda karena perbedaan kemampuan ekonomi, letak geografis, dan perbedaan ketersediaan fasilitas, mendorong perlunya jaminan yang sama bagi setiap individu. Jaminan ini dibutuhkan karena setiap individu memiliki kemungkinan masuk dalam kategori masyarakat rentan dalam menghadapi resiko sosial dalam hidupnya.       Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (3) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan: “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

Permasalahan yang Timbul :
P
            Permasalahan yang timbul pada saat ini dalam pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System) :
1.      Penolakan pasien tidak mampu di fasilitas pelayanan kesehatan hal ini dikarenakan Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Peraturan presiden No. 111 Tahun 2013 tentang Jaminan kesehatan hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat fakir miskin sebagai PBI padahal menurut BPJS, fakir miskin ada 96,7 juta. Pelaksanaan BPJS tahun 2014 didukung pendanaan dari pemerintah sebesar Rp. 26 trliun yang dianggarkan di RAPBN 2014. Anggaran tersebut dipergunakan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp. 16.07 trliun bagi 86,4 juta masyarakat miskin sedangkan sisanya bagi PNS, TNI dan Polri. Pemerintah harus secepatnya menganggarkan biaya kesehatan Rp. 400 milyar untuk gelandangan, anak jalanan, penghuni panti asuhan, panti jompo dan penghuni lapas (jumlahnya sekitar 1,7 juta orang). Dan tentunya jumlah fakir miskin yang dicover oleh BPJS kesehatan harus dinaikkan menjadi 96,7 juta.
2.      Dalam pelaksanaan secara teknis maka mengacu kepada Undang-Undang BPJS dan Perda terkait, dimana anak terlantar dan gelandangan/pengemis (gepeng) serta orang yang gila (gangguan jiwa) itu menjadi tanggung jawab negara atau pemerintah daerah, sehingga bagi mereka yang mempunyai identitas (KTP dan KK) maka akan di berikan kartu miskin atau warga tidak mampu. Namun bagi anak-anak terlantar, gepeng dan orang yang gila (gangguan jiwa) yang tidak mempunyai kartu identitas maka mereka akan di data oleh dinas sosial setempat dan menjadi tanggungan pemerintah daerah melalui Deparrtemen Sosial.
3.      Pelaksanaan di lapangan, pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit) sampai saat ini masih bermasalah. Pasien harus mencari-cari kamar dari satu RS ke RS lainnya karena dibilang penuh oleh RS, bukanlah hal yang baru dan baru sekali terjadi. Ditambah dengan antrian yang cukup banyak pada saat mendaftar di kantor BPJS untuk melakukan pendaftaran awal pembuatan BPJS Kesehatan antrian sangat panjang, tempat duduk ruang tunggu sangat minim. Kemudian di pelayanan Puskesmas maupun rumah sakit, pasien harus menunggu antrian yang cukup lama pada saat akan melakukan pengobatan, menunggu antrian awal pendaftaran cukup lama dan juga pada saat menunggu antrian pengambilan obat.
4.      Perihal obat-obatan tidak semua tercover oleh BPJS, terdapat keluhan dari Masyarakat kurang mampu yang harus menanggung biaya pembelian obat-obatan yang harganya cukup mahal, sehingga bagi PBI yang tidak mampu membeli obat pada akhirnya tidak melakukan pembelian obat tersebut, (Keluhan dari Ny. Titin Perihal Putranya yang sakit lumpuh dari tahun 2011 Hingga sekarang (Pasien PBI), warga Cipayung Rt.07 Rw.04 Cipayung Jakarta Timur). ( sumber hasil wawancara )

Pemenuhan Hak Kostitusional Warga Negara yang Ideal Dikemudian Hari
                     Pelayanan kesehatan BPJS mempunyai sasaran didalam pelaksanaan akan adanya sustainibilitas operasional dengan memberi manfaat kepada semua yang terlibat dalam BPJS, pemenuhan kebutuhan medik peserta, dan kehati-hatian serta transparansi dalam pengelolaan keuangan BPJS. Perlu perhatian lebih mendalam dalam pelaksanaan terhadap system pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System), sistem pembayaran (Health Care Payment System) dan sistem mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System). Mengingat pelaksanaan BPJS dikeluarkan melalui Undang-Undang dimana bersifat mengatur sedangkan proses penetapan pelaksanaan diperkuat melalui surat keputusan atau ketetapan dari pejabat Negara yang berwenang seperti peraturan pemerintah dan peraturan presiden setidaknya minimal 10 regulasi turunan harus dibuat untuk memperkuat pelaksanaan BPJS.
                    Menurut Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) tahun 2011 untuk Program Pembangunan PBB (UNDP), menunjukan bahwa di Indonesia terdapat 48,35 juta (20,8 persen) orang miskin multi dimensi, yakni yang di ukur menurut indikator penghasilan, pendidikan, dan usia harapan hidup. Sedangkan presentasi fakir miskin di tahun 2011 menurut BPPS lebih kecil lagi yaitu 12,49 persen (30,3 juta orang) dari 237 juta jiwa.Walaupun ini angka besar, jumlah fakir miskin sebenarnya terus menurun dari tahun ke tahun, hal ini dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang meningkat hamper 50 persen dalam kurun waktu 31 tahun ( 1980 – 2011/ (0,432 – 0,617).
            Pengalaman Negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal, ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial. Fakir miskin dan penyandang masalah Kesejahteraan Sosial adalah kelompook yang tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun strukturalnya (pengangguran), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitarnya, termarjinalkan dalam proses pembangunan yang tidak adil.
            Pemenuhan Hak Konstitusional Bagi Masyarakat Berdasarkan Pasal 28H  Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang akan datang adalah setiap warga negara dijamin oleh negara atas jaminan sosial tanpa membedakan status sosial, suku, agama, ras dan golongan, sehingga jaminan sosial adalah merupakan suatu tanggung jawab negara untuk melindungi warga negara dari ancaman terhadap kemiskinan, kesehatan maupun bencana. Inilah yang dinamakan Baldatun warofun ghofur, atau sejalan dengan cita-cita Negara Republik Indonesia yang tertuang pada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu Adil dan Makmur.

Beberapa Rekomendasi yang diperlukan antara lain :

1. Menegakan Kepatuhan Hukum Terhadap Stakholders, sehingga satu sama   lain saling mendukung untuk mencapaiUniversal Health Coverage(UHC);
2. Memperbaiki akurasi data peserta, perlu terus melakukan verifikasi dan validasi data kepesertaan peserta (baik PBI maupun Jamkesda), agar tidak terjadi kepesertaan ganda atau sebaliknya (mengabaikan masyarakat yang sebenarnya berhak menerima bantuan iuran);
3. Memperbaiki regulasi, BPJS Kesehatan perlu melakukan revisi regulasi, sehingga ada sanksi yang tegas bagi pemerintah daerah dan lembaga terkait yang tidak mendukung Program JKN/KIS.
4. Meningkatkan kualitas SDM dan mendorong terciptanya SDM yang profesional yang ditempatkan pada mitra kerja seperti: rumah sakit dan puskesmas, agar dapat memberikan layanan kesehatan terbaik bagi masyarakat
5. Pemerintah disarankan untuk meningkatkan anggaran pelayanan kesehatan sebesar Rp. 400 milyar untuk  gelandangan, anak jalanan, penghuni panti asuhan, panti jompo dan penghuni lapas (jumlahnya sekitar 1,7 juta orang) dari APBN termasuk anggaran terhadap fakir miskin harus dinaikkan menjadi 96,7 juta.  
6. Pemerintah disarankan mencontoh pengelolaan dana pelayanan kesehatan seperti negarMalaysia yang sudah lebih tingkat kesadaran akan kesehatan.



Foto dari Kiri ke Kanan : Indra Rusmi, S.H., M.H, Bireven Aruan, S.H dan Johan Imanuel, S.H.



Share:

Aksi Vandalisme dalam Kacamata Hukum Positif Indonesia



Oleh: Andrie Irawan, SH., MH[1]
Email: andrie.legal@merahputih.id , HP/WA: 0813-28-777-614

Pendahuluan
Tata kota yang indah dan teratur merupakan proyeksi umum yang dapat dikategorikan bahwa warga dari kota tersebut rapi dan tertib. Selain itu tentunya kota sebagaimana dimaksud menjadi sebuah hunian yang nyaman untuk siapa saja. Permasalahan kota dalam hal visualisasi representasi kota sebagai tempat yang bersih, sehat, tidak mengganggu pemandangan, rapi dan tertata menjadikan kota memiliki identitas ruang yang tidak bisa dipungkiri dan kokoh. Pribadi kota seperti inilah yang menjadikan sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai pekerja seni (seniman) liar mengembangkan daya imajinasinya dalam sebuah ruang yang bernama ruang publik. Sementara ruang publik sendiri diakui sebagai bagian dari identitas kota yang harus memenuhi standar sebagai kota yang bersih dan tertata dari tangan-tangan manusia yang ingin merusak.
Coretan di dinding pada ruang publik merefleksikan bagaimana seseorang menuangkan keresahan hatinya lewat aksi coret-coret pada dinding. Si pembuat coretan ingin menyampaikan gagasannya lewat ruang publik, atau karena dorongan eksistensi si pencoret yang ingin tampil tanpa pesan sedikitpun. Aksi tersebut dilakukan di kota-kota, seolah-olah telah menjadi kebiasaan yang lumrah, bahkan coretan-coretan tersebut seolah tak menyisakan tembok yang bersih berwarna putih. Dinding menjadi media utama bagi para pencoret dan permukaan yang datar dan luas menjadi sasaran empuk baginya.
Fenomena yang digambarkan dalam tulisan ini tentunya bukan lagi sebatas wacana, melainkan sudah fakta yang membuat wajah kota tidak indah lagi. Hal ini juga dapat memproyeksikan bahwa warga kota yang dimaksud terkesan egois dan cuek (makna cuek ini ditekankan ketika aksi coretan-coretan yang terjadi hanya dibiarkan tanpa ada solusi mengarahkannya ke hal yang lebih positif).
Kebanyakan aksi dari coret-coret tersebut dilakukan oleh remaja yang masih dalam usia sekolah, baik yang masih sekloah maupun tidak. Permasalahan ini menjadi permasalahan sosial dan mengarah kepada penyakit masyarakat yang tentunya tidak dapat dibiarkan atau bahkan kita tidak peduli dengan permasalahan tersebut. Aksi-aksi yang dimaksud dan marak saat ini dikenal dengan istilah Vandalisme, sebelum mencari solusi dalam upaya penanggulanganya tentunya kita perlu mencari akar masalah kenapa hal ini terjadi.

Kenakalan Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Adapun rentang usia remaja antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi perempuan dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi laki-laki.[2]
Remaja berada pada masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.[3]
Melihat definisi tersebut, remaja berada dalam masa peralihan, ketika dalam pembatasan umur menurut hukum remaja berada dalam kategori anak dan dewasa, sehingga pendekatannya jika dilihat dari sisi hukum tentunya akan berbeda, namun tulisan ini akan lebih melihat remaja dari sisi perkembangan. Selain itu jika berbicara masalah remaja yang bersifat negatif atau dikenal dengan kenakalan remaja, patu diperhatikan bahwa kenalakan remaja merupakan tindakan melanggar aturan ataupun norma, baik dari skala kecil sampai dengan besar diantaranya membolos sekolah, melanggar jam malam yang ditetapkan orangtua, hingga kenakalan berat seperti vandalisme, perkelahian antar geng, penggunaan obat-obat terlarang, dan sebagainya.
Dalam batasan hukum, menurut Philip Rice dan Gale Dolgin, penulis buku The
Adolescence, terdapat dua kategori pelanggaran yang dilakukan remaja, yaitu:
1.      Pelanggaran indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak remaja. Perilaku yang termasuk di antaranya adalah pencurian, penyerangan, perkosaan, dan pembunuhan.
2.      Pelanggaran status, di antaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, minum minuman beralkohol di bawah umur, perilaku seksual, dan perilaku yang tidak mengikuti peraturan sekolah atau orang tua.
Tindakan kenakalan remaja yang tidak terkontrol akan menjerumuskan seorang remaja pada perilaku kejahatan remaja (Juvenile Deliquency) yang merupakan salah satu penyakit sosial. Penyakit Sosial atau Penyakit Masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum. Disebut juga sebagai penyakit masyarakat karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi penyakit.

Pemicu dari Kenakalan Remaja
Ada beberapa pemicu ataupun faktor timbulnay permasalahan sosial berupa kenakalan remaja. Beberapa pendapat mengkategorikan faktornya menjadi dua hal, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal dari remaja itu sendiri dilandasi dari beberapa hal, antara lain: Kepribadian yang cenderung agresif dan labil, karena masa remaja dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya. Dimana seseorang meninggalkan masa anak-anak untuk menuju masa dewasa. Masa ini di rasakan sebagai suatu Krisis identitas karena belum adanya pegangan, sementara kepribadian mental untuk menghindari timbulnya kenakalan remaja atau perilaku menyimpang.[4]
Faktor lain yaitu berasal dari eksternal remaja, diantaranya: Keluarga, permasalahan yang timbul dalam keluarga, Menurut Karol Kumpfer dan Rose Alvarado, profesor dan asisten profesor dari University of Utah, dalam penelitiannya, menyebutkan bahwa kenakalan dan kekerasan yang dilakukan oleh anak dan remaja berakar dari masalah-masalah sosial yang saling berkaitan, diantaranya kekerasan yang dilakukan orang tua kepada anak baik dari pengabaian, kekerasan dalam rumah tangga. Ketidakmampuan orang tua dalam menghentikan dan melarang perilaku anak akan membuat perilaku kenakalan tersebut bertahan.[5]
Dalam batasan hukum, menurut Philip Rice dan Gale Dolgin, penulis buku The Adolescence, terdapat dua kategori pelanggaran yang dilakukan remaja, yaitu:[6]
1.      Pelanggaran indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak remaja. Perilaku yang termasuk di antaranya adalah pencurian, penyerangan, perkosaan, dan pembunuhan.
2.      Pelanggaran status, di antaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, minum minuman beralkohol di bawah umur, perilaku seksual, dan perilaku yang tidak mengikuti peraturan sekolah atau orang tua
Selain itu kenakalan remaja juga dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:
1.      Genetis Psikologis, remaja di usia 12-18 tahun sedang berada dalam masa panca roba, dimana pada faes ini remaja sedang mencari jati diri dan tentunya mencari teman sebanyanya untuk saling berkomunikasi dan saling mencurahkan isi hatinya. Remaja pada fase ini sedang menari “aku”nya dan lebih menjolkan “aku”nya dengan sifat keras kepala, kasar dan brutal, jika tanpa adanya pembinaan terarah akan timbul kenakalan remaja.
2.      Secara sosiologi, banyak faktor regulatif seperti misalnya peraturan tata tertib dan norma-norma lain yang berperan dalam kehidupan sosial, kini banyak diabaikan bahkan dilanggar sehingga berakibat logis dari masalah situasi sosial yang pernah dilaluinya ataupun yang sedang dialaminya hal ini mungkin timbul dari kehidupan dalam keluarga, seperti karena dalam perceraian, kesibukan orang tua dalam bekerja, kurangnya komunikasi dalam keluarga dan lain-lain yang kesemua itu dapat menimbulkan kehangatan keluarga tidak pernah ada dalam perkembangan jiwa remaja
3.      Secara sosial ekonomi dan politik, secara sosial ekonomi keadaan susunan keluarga remaja sangatlah bermacam-macam. Ada keluarga mampu, setengah mampu, dan ada yang serba kekurangan. Melihat kondisi tersebut, ada yang menyerahkan pendidikan anaknya sepenuhnya kapada sekolah. Dilain pihak ada juga yang menyebut anak didik dan remajanya dengan mencukupkan berbagai kebutuhannya dengan sejumlah uang yang cukup dan bahkan berlebihan atau yang menyerahkan kepada pengasuhnya atau pekerja rumah tangga sehingga berakibat anak (remaja) mengalami kekosongan jiwa. Ketika lahir kekosangan jiwa kepada anak (remaja) tentunya anak akan mudah gelisah dan rentan akan masukan-masukan negatif dari lingkungannya karena ketidaktangguhan dari jiwa anak (remaja) tersebut, misalnya dalam fenomena aksi politik praktis saat ini maka remaja akan sangat mudah digiring untuk jadi simpatisan.

Vandalisme, Graffiti dan Mural
Vandalisme dan grafiti signifikan mempengaruhi individu dan masyarakat. Penghapusan dan pencegahan vandalisme grafiti sangat mahal untuk masyarakat. Puluhan juta dari uang pembayar pajak dibelanjakan setiap tahun pada membersihkan grafiti dan memperbaiki kerusakan yang menyebabkan. Menghabiskan uang rakyat ini untuk membersihkan grafiti berarti bahwa uang tidak dibelanjakan pada hal-hal yang dapat bermanfaat bagi masyarakat.[7] Vandalisme grafiti bisa menjadi kegiatan yang berbahaya. Graffiti sering diterapkan di lokasi berbahaya, seperti di sepanjang rel kereta api, kereta api koridor dan kereta terowongan.[8]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1989) Vandalisme adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya. Vandalisme sendiri dapat didefinisikan sebagai kegiatan iseng dan tidak bertanggung jawab dari beberapa orang yang berperilaku cenderung negatif.
Vandalisme merupakan simbol ekspresi manusia untuk diakui keberadaannya oleh manusia lain dengan berbagai macam cara. Namun apabila sudah mengarah pada perbuatan negatif, maka akan ada pihak yang merasa dirugikan.
Graffiti sendiri dapat digolongkan dalam aksi vandalisme. Diane Schaefer memberikan pendapat terhadap graffiti yaitu graffiti researchers typically use a broad definition for their topic. Graffiti as an inscription or drawing made on a public surface (as a wall) (Diane Schaefer, 2004 :181).
Graffiti berasal dari bahasa latin, yaitu Graphium yang artinya adalah Tulisan. Graffiti sudah ada sejak zaman dulu, digunakan sebagai media komunikasi dan sarana mistisme dan spiritualisme. Graffiti juga digunakkan sebagai sarana propaganda untuk menyindir dan menunjukkan ketidakpuasaan kepada pemerintah saat zaman Romawi.[9] Graffiti itu sendiri adalah coretan di dinding dengan mempertimbangkan komposisi warna, garis, bentuk dan volume untuk menuliskan kata, simbol atau kalimat tertentu. Alat yang digunakan untuk Graffiti itu biasanya cat semprot (pilox) atau spidol. Kegiatan membuat Graffiti biasa disebutnya sih nge-bomb dan pelakunya disebut sebagai Bomber.[10]
Mural berasal dari bahasa latin Murus yang berarti Dinding. Arti yang lebih luas lagi, Mural adalah lukisan yang dilukis pada bidang permanen seperti tembok, dinding dan sejenisnya. Mural udah ada sejak zaman dulu, dipergunakan sebagai ajang kegiatan spiritual dan ajang eksistensi diri.[11]

Solusi Mengatasi Vandalisme dalam Hukum Positif Indonesia
Vandalisme dalam tulisan ini memang memandangnya adalah tindakan sebuah pelanggaran terhadap ketertiban umum bahkan juga dapat menjadi sebuah kejahatan. Pendekatan hukum positif dalam tindakan vandalisme yang dilakukan oleh remaja tidak hanya sebatas pendekatan dari aspek pidana namun juga dapat menggunakan pendekatan secara perdata.
Pendekatan normatif dalam hukum pidana untuk aksi vandlisme dapat diuraikan dalam beberapa pasal-pasal yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantaranya:
Jika aksi vandalisme yang dilakukan tersbut berkibat adanya pengrusakan rumah (gedung) atau bangunan-bangunan yang dapat mendatangkan bahaya umum bagi barang, bahaya bagi orang lain, atau bahaya maut bagi orang lain, maka pasal yang mungkin digunakan adalah Pasal 200 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja menghancurkan atau merusak gedung atau bangunan diancam:
1.    dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi barang;
2.    dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
3.    dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.”

Terkait pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa supaya dapat dihukum dengan pasal ini, maka perbuatan tersebut harus dilakukan dengan “sengaja” dan harus mendatangkan akibat-akibat sebagaimana termaktub pada sub 1 sampai dengan sub 3 dalam pasal ini.
Mengenai apa yang dimaksud dengan menghancurkan dan merusak, S.R. Sianturi, S.H. (Ibid) menjelaskan bahwa menghancurkan adalah membuatnya sama sekali binasa atau musnah, rusak berantakan dan bahkan sudah tidak berwujud lagi ibarat sepeda digilas stomwals (kendaraan penggilas jalan). Sedangkan merusak adalah membuat sebagian dari benda itu rusak yang mengakibatkan keseluruhan benda itu tidak dapat dipakai.
Melihat pada uraian di atas, jika perbuatan orang tersebut hanya mencoret-coret rumah Anda yang tidak mengakibatkan bahaya baik bagi barang maupun bagi nyawa orang lain, serta perbuatan tersebut tidak ada maksud untuk membuat Anda melakukan sesuatu sesuai keinginan si pelaku, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.
Akan tetapi, jika yang melakukan hal tersebut lebih dari 1 (satu) orang, maka dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 170 ayat (1) KUHP:

“Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”

R. Soesilo (Ibid) menjelaskan bahwa yang dilarang dalam pasal ini adalah “melakukan kekerasan”. Kekerasan yang dilakukan ini biasanya terdiri dari “merusak barang” atau “penganiayaan”, akan tetapi dapat pula kurang daripada itu; sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu pada orang lain atau rumah, atau membuang-buang barang-barang dagangan, sehingga berserakan, meskipun tidak ada maksud yang tentu untuk menyakiti orang atau merusak barang itu.
Mengenai yang dimaksud dengan “tenaga bersama”, S.R. Sianturi, S.H., dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, mengatakan bahwa beberapa sarjana berpendapat tidak cukup hanya dua orang saja. Ini karena istilah “dengan tenaga bersama” lebih mengindikasikan suatu gerombolan manusia. Akan tetapi ada sarjana lainnya (antara lain Noyon) yang berpendapat bahwa subjek inin sudah memenuhi syarat jika ada dua orang (atau lebih).
Penggunaan pasal ini dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis Nomor : 139 / Pid.B / 2011 / PN.Bks. Dalam putusan ini, terdakwa bersama-sama dengan orang lain (yang telah dipidana) melakukan aksi dengan menggunakan kekerasan terhadap barang, yaitu memecahkan kaca nako dengan menggunakan batang kayu bambu runcing yang dilakukan oleh terdakwa dan beberapa orang lainnya, selain itu beberapa dari mereka mencoret dinding Kantor Balai Desa menggunakan cat semprot "PILOK”' berwarna merah dengan tulisan "DISEGEL KANTOR SETAN", bahkan ada yang melempar telur busuk kedinding Kantor Balai Desa Sungai Cingam. Atas perbuatan terdakwa dan orang-orang tersebut, terdakwa dipidana berdasarkan Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Selain itu, dalam dataran praktek perihal aturan untuk menjerat pelaku vandalism juga masih sangat lemah, biasanya pelaku dijerat menggunakan Pasal 489 ayat (1) KUHP:

“Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah”

Makna “kenakalan” dalam pasal dimaksud menurut R Soesilo adalah semua perbuatan orang, berlawanan dengan ketertiban umum, ditujukan pada orang, binatang dan barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, yang tidak dapat dikenakan salah satu pasal khusus dalam KUHP.
Mengenai denda dalam pasal 489 ayat (1) KUHP, berdasarkan Pasal 3 dan 4 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, menyatakan sebagai berikut:

Pasal 3 PERMA No. 2 Tahun 2012:
“Tiap jumlah maksimum hukuman dengan diancamakan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (1) dan ayat (2) dilipatgandakan menjadi 1000 (seribu kali)

Pasal 4 PERMA No. 2 Tahun 2012:
“Dalam menangani perkara tindak pidana yang didakwa dalam pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib memperhatikan Pasal 3 diatas”

Selain dari sudut pandang hukum pidana, pendekatan untuk mengatasi aksi vandalisme ini juga dapat menggunakan hukum perdata. Ketentuan pasal yang paling dimungkinkan dalam mengatasi aksi tersebut adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dengan melakukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum. Adapun isi pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut:
a.    Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);
b.    Perbuatan itu harus melawan hukum;
c.    Ada kerugian;
d.    Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
e.    Ada kesalahan.
Sedangkan, yang termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan yang:
1.    Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2.    Melanggar hak subjektif orang lain;
3.    Melanggar kaidah tata susila;
4.    Bertentangan dengan azas kepatutan ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Hal yang menjadi titik poin adalah harus ada perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku. Perbuatan tersebut melawan hukum yaitu melanggar hak dasar manusia untuk hidup tentram dan bebas dari gangguan baik atas diri sendiri dan keluarga maupun atas barang-barang milik kita. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian, baik materiil dan imateriil. Kerugian yang dialami merupakan akibat dari perbuatan si pelaku

Penanganan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Vandalisme
Sering kali pelaku vandalisme yang ditemui adalah remaja dengan berusia anak (masih dibawah 18 tahun sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), kondisi tersebut dalam kacamata penegakan hukum ternyata tidak dapat dilakuakan sama seperti orang dewasa pada umum, hal ini menjadi berbeda karena jika seorang anak menjadi pelaku kejahatan atau dikenal dengan istilah Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) sebagai pelaku mendapatkan perlakukan khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) (ketentuan ini berlaku sebagai konsekuensi pemenuhan asas lex spesialis derogate legi generalis terhadap KUHP dimana untuk penanganan ABH menggunakan undang-undang khusus).
Namun ketentuan khusus sebagaimana dijelaskan diatas untuk ABH bersifat terbatas/limitative, kategori ABH yang mendapatkan penangann khusus sebagaimana diatur dalam UU SPPA, yaitu:
      Anak  yang berkonflik dengan hukum/ Pelaku
      Anak  yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) dan
      Anak yang menjadi saksi  tindak pidana (Anak Saksi )
Selain itu ABH yang dimaksud sudah masuk kategori usia pertanggungjawaban pidana, yaitu:
1.      Usia pertanggung jawaban pidana Anak  sekurang-kurangnya 12 tahun
2.      batasan usia anak yang bisa dikenakan penahanan sekurang-kurangnya 14 tahun
3.      Batas usia anak yang dapat dijatuhi  pidana adalah  sekurang-kurangnya 14 tahun
Selanjutnya ABH tersebut akan mendapatkan proses litigasi yang cepat dan berbatas waktu dan wajib diupayakan proses diversi[12] yang merupakan upaya mediasi penal[13] dan diakui dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Proses diversi ini juga ternyata dalam aturannya berisfat limitatif, karena proses diversi hanya berlaku 1 (satu) kali untuk ABH pelaku dalam semua tingkatan proses baik oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim dengan ketentuan yang dilakukan pelaku tersebut merupakan kejahatan pertama kali dan bukan pengulangan, usia pelaku masih anak dan ancaman hukuman dibawah 7 (tujuh) tahun, sebagimana juga diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.
Alasan utama adanya perlakukan khusus bagi anak yang berkonflik dengan hukum baik pelaku, korban maupun saksi adalah lebih kepada perubahan paradigma penegakan hukum dalam hukum pidana tentang keadilan, dari Retributive Justice (menekankan kepada pembalasan dan anak sebagai objek) kemudian ke Restitutive Justice (menekankan keadailan dalam bentuk ganti rugi) dan yang terakhir pada saat ini untuk mencapai Restorative Justice dengan menekankan kepada beberapa hal, yaitu:
-          Menekankan keadilan pada perbaikan/ pemulihan keadaan
-          Berorientasi pada korban
-          Memberikan kesempatan pada pelaku untuk mengungkapkan rasa sesalnya pada korban dan sekaligus bertanggung jawab.
-          Memberikan kesempatan kepada pelaku dan korban untuk bertemu untuk mengurangi permusuhan dan kebencian.
-          Mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat
-          Melibatkan anggota masnyarakat dalam upaya pemulihan
Melihat dari paparan berkenaan dengan penanganan hukum terhadap ABH pelaku, termasuk pelaku vandalism memang perlu ada perlakukan berbeda dan masyarakat perlu tahu tentang peraturan ini, karena posisi ABH sebagai pelaku sebenarnya adalah juga korban yang perlu diselamatkan untuk dipulihkan agar asset bangsa masa depan ini dapt lebih baik lagi dan tidak terjadi pengulangan untuk kejahatan yang lain dimasa akan datang, serta menjadi tanggung jawab setiap pihak tidak hanya bagi orang tua pelaku tetapi juga masyarakat dan Negara.

Penutup
Penanganan aksi vandalisme dari kacamata hukum positif di Indonesia tidak hanya sebatas penegakan hukum pidana saja tetapi juga dapat menggunakan pendekatan hukum perdata. Hal ini menjadi penting ketika pelaku tidak hanya dihukum baik berupa tindakan namun juga perlu memperhatikan kepentingan korban, agar ada efek jera dan proses perbaikan terhadap benda atau asset yang dirusak
Selain itu penanganan hukum bagi pelaku vandalisme juga harus memperhatikan siapa pelakunya, dewasa atau masih anak-anak. Jika pelakunya masih anak maka perlu ada penanganan khusus agar sang anak dapat mengikuti proses rehabilitasi terhadap perilaku yang pernah dilakukan dan juga tidak ada pengulangan atas tindakan serupa ataupun kejahatan lainnya di masa akan datang.


[1] Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta sekaligus Advokat di Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Sahabat Anak, Perempuan dan Keluarga (SAPA)
[2] Pengertian Remaja Menurut Para Ahli, http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/, diakses pada 20 April 2016 jam 21.40 WIB
[3] Ibid
[4] Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja, http://grupsyariah.blogspot.co.id/2012/06/faktor-faktor-penyebab-terjadinya.html, diakses pada 20 April 2016 jam 23.33 WIB
[5] 10 Penyebab Kenakalan Remaja, http://health.detik.com/read/2011/01/23/100537/1552483/1075/10-penyebab-kenakalan-remaja, diakses pada 20 April 2016 jam 23.40 WIB
[6] Ibid
[7] Perbedaan  Streetart, Mural dan Vandalisme, http://warihsenoz.blogspot.co.id/2016/01/perbedaan-streetart-mural-dan-vandalisme.html, diakses pada 20 April 2016 jam  22.00 WIB
[8] Ibid
[9] Vandalisme, Graffiti dan Mural Sama Gak Sih??, http://www.kompasiana.com/irraisa.lisseptiyana/vandalisme-graffiti-dan-mural-sama-gak-sih_54f74bcda33311af2c8b45a3, diakses pada 20 April 2016 jam 22.15 WIB
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional / Tenaga Kesejateraan Sosial berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. (Pasal 8 UU SPPA), sedangkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. (Pasal 1 UU SPPA)
[13] Mediasi Penal adalah cara penyelesaian perkara pidana anak melalui proses perundingan yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka, dan pihak lain yang terkait untuk memperoleh kesepakatan perdamaian dengan dibantu Mediator


Share:

Kontak Kami :

Email : info@konsultan-hukum.com dan konsultasihukum24jam@gmail.com

Konsultan Kekayaan Intelektual

IPLC Law Firm

Legal Trust

Popular Posts

Recent Posts