Advokat, Konsultan Hukum, Konsultan HKI, Kurator dan Pengurus WA : 0813.17.906.136

Akibat Hukum Kecelakaan Kendaraan Bermotor di Jalan Raya

Akibat hukum kecelakaan kendaraan bermotor di jalan raya dijelaskan di dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). 

Berdasarkan Pasal 229 ayat 1 secara umum kecelakaan itu dibagi menjadi 3 yaitu :


(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas : 

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan; 
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau 
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat. 

(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang. 

(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang. 

(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat. 

(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.  

Adapun penjelasan Pasal (3) dan Pasal (4) adalah sebagai berikut :

Ayat (3) Yang dimaksud dengan "luka ringan" adalah luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain yang di klasifikasikan dalam luka berat. 

Ayat (4) Yang dimaksud dengan "luka berat" adalah luka yang mengakibatkan korban: 
a. jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut; 
b. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan; 
c. kehilangan salah satu pancaindra; 
d. menderita cacat berat atau lumpuh;
e. terganggu daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih;
f. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atau 
g. luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 (tiga puluh) hari.  


Adapun akibat hukum karena kelalaian menyebabkan kecelakaan lalu lintas diatur di dalam Pasal 310 ayat (1) sampai dengan ayat (4) yaitu sebagai berikut :

(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). 

(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). 

(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.l0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 

(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).  

Pasal 310 UU LLAJ ini menjelaskan akibat hukum pengemudi kendaraan yang karena kelalaiannya bukan karena kesengajaannya.

Sedangkan jika kecelakaan terjadi karena adanya unsur kesengajaan maka lebih berat hukumannya, yaitu sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 311 sebagai berikut :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). 

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/ atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah). 

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah). 

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). 

(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Berdasarkan adanya unsur kelalaian yang menyebabkan korban meningga dunia maka pelaku akan dikenakan pidana paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 12 juta rupiah. Sedangkan jika ada usur kesengajaan maka pelaku akan dipidana dengan penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak 24 juta rupiah. Dari Pasal 310 dan 311 ini UU telah sangat jelas memberikan hukuman pemberatan terhadap pelaku kecelakaan dengan hukuman lebih berat.

Lalu bagaimanakah jika kita dituntut karena terjadinya kecelakaan ? maka kita harus melihat apakah ada unsur kelalaian atau kesengajaan dalam kecelakaan yang terjadi tersebut ? ataukah ada faktor lain diluar kendali kita sehingga kita tidak dapat dipidana seperti dalam Pasal 234 yaitu sebagai berikut :


(1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/ atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi. 

(2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi. 

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika : 

a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi; 
b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau 
c. disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan. 

Adapun penjelasan Pasal 234 adalah sebagai berikut :

Ayat (1) Yang dimaksud dengan "bertanggung jawab" adalah pertanggungjawaban disesuaikan dengan tingkat kesalahan akibat kelalaian

Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" adalah : a. orang yang berada di luar Kendaraan Bermotor; atau b. instansi yang bertanggung jawab di bidang Jalan serta sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 


Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "keadaan memaksa" termasuk keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh Pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba- tiba. 

Penjelasan Pasal 234 ayat 3 mengenai keadaan memaksa tidak hanya seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba saja namun hewan ini bisa dianalogikan dengan mobil secara tiba-tiba, seperti kecelakaan yang terjadi di jalan tol, di jalan tol tidak mungkin ada hewan berjalan, namun mobil yang secara tiba-tiba bergerak membahayakan mobil lain sehingga menyebabkan kecelakaan terhadap mobil lainnya maka pengendara mobil lainnya tersebut tidak bisa dipidana jika ternyata penumpang yang ada di dalam mobil lainnya tersebut ada yang meninggal dunia.

Tuntutan Pidana Walaupun Pelaku Kecelakaan Telah Bertanggung Jawab :

Dijelaskan di dalam Pasal 235 yaitu sebagai berikut :


(1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. 

(2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.   

Penjelasan Pasal 235 :

Pasal 235 Ayat (1) Yang dimaksud dengan membantu berupa biaya pengobatan adalah bantuan biaya yang diberikan kepada korban, termasuk pengobatan dan perawatan atas dasar kemanusiaan. 

Karena Delik dalam UU LLAJ ini merupakan delik biasa, sehingga tanpa aduan dari keluarga korban pun Polisi dan Jaksa dapat menindak pelaku. Namun dengan syarat harus adanya unsur kelalaian dan unsur kesengajaan terlebih dahulu.

Delik biasa (laporan) bisa kita ketahui di dalam Pasal 232 UU LLAJ yaitu sebagai berikut :

Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib : 

a. memberikan pertolongan kepada korban Kecelakaan Lalu Lintas; 
b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau 
c. memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.  


Jika anda memiliki permasalahan berkenaan dengan UU Lalu Lintas Angkutan Jalan dan Konsultasi mengenai kecelakaan lalu lintas ringan, sedang dan berat dan anda membutuhkan jasa pengacara/advokat untuk pendampingan berkaitan dengan kasus kecelakaan lalu lintas ini maka bisa kontak WA kami di : 0813.17.906.136







Share:

Jasa Perjanjian Bipartit bagi Perusahaan

Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. (Pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Berdasarkan Pasal 162 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan sebagai berikut : Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Jadi berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU PPHI dan Pasal 162 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, jika seorang buruh sudah mengundurkan diri atas kemauan sendiri kemudian setelah dirinya mengundurkan diri secara baik-baik dengan mengajukan surat resmi pengunduran dirinya lalu kemudian setelah pengunduran dirinya tersebut dirinya meminta perundingan bipartit, maka perundingan bipartitnya tersebut tidak bisa dilakukan karena sudah tidak ada hubungan hukum apa-apa lagi antara mantan karyawan dan perusahaannya tempat dahulu bekerja.

Jika perusahaan membutuhkan Jasa Konsultasi Hukum Bipartit, Tripartit atau bahkan bantuan hukum untuk menjawab gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial kami siap untuk membantu : Silahkan kontak WA kami di : 0813.17.906.136





Share:

Membuktikan Adanya Unsur Penipuan di dalam Pasal 1320 KUHPer


Dalam Pasal 1320 KUH Perdata ini Syarat sah suatu perjanjian dibagi dua yaitu syarat sah yang bersifat subjektif dan syarat sah yang bersifat objektif. Adapun syarat sah subjektif yaitu ada dua :

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum

(Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan dewasa menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita.

Sedangkan menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun bagi wanita.

Sedangkan syarat sah objektif adalah mengenai objek di dalam perjanjian itu sendiri yaitu :


3.Adanya Obyek/Perihal Tertentu

Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.

Selain itu Objek atau perihal tertentu harus mengacu kepada Pasal 1332, 1333 dan 1334 ayat (1).

Pasal 1332 KUHPer :
"Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan".

Pasal 1333 KUHPer :
"Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung".
Pasal 1334 KUHPerdata :
"Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan".
Dengan demikian, Objek perjanjian itu haruslah :
- Dapat diperdagangkan.
- Dapat ditentukan jenisnya.
- Dapat dinilai dengan uang
- Memungkinkan untuk dilakukan/dilaksanakan.


4.Adanya kausa yang halal.

Harus memperhatikan Pasal 1337 KUH Perdata :
"Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum" 
dan Pasal 1335 KUH Perdata :
(Catatan : Pasal 1335 harus menjadi patokan dalam membuat klausa yang halal yaitu "Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan".

Jika ada dalam perjanjian yang dibuat maka berdasarkan syarat sah objektif suatu perjanjian maka perjanjian ini batal demi hukum maka artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Dalam prakteknya terkadang seseorang yang memiliki niat jahat untuk melakukan penipuan menggunakan dokumen palsu dalam mengadakan sebuah perjanjian, maka dengan adanya penggunaan dokumen palsu seperti menjaminkan sertifikat tanah palsu maka seseorang tersebut telah jatuh kedalam tindakan Pidana sesuai dengan Pasal 378 KUHP, karena telah ada unsur rangkaian kebohongan ketika membuat sebuah perjanjian. Maka dengan demikian sesuai dengan syarat objektif ini maka perjanjian yang di buat batal demi hukum. Sehingga surat perikatan perjanjian ini dapat meniadakan unsur Perdata dan berubah menjadi unsur Pidana.


JIKA ANDA MEMERLUKAN KONSULTASI HUKUM KARENA ANDA TERTIPU SILAHKAN KONTAK KAMI VIA WA : 0813.17.906.136 KAMI AKAN MEMBANTU PERMASALAHAN ANDA DENGAN BIAYA YANG MURAH.


Share:

Putusan Vrijspraak

Putusan Vrijspraak adalah putusan yang memuat pembebasan si terdakwa. Putusan ini diatur di dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”


Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

Menurut (Samosir, 2013) penerapan putusan Vrijspraak dalam hukum pidana adalah berdasarkan azas tiada seorang dapat dipidana tanpa kesalahan yang dikenal dengan "keine strafe ohne schuld" atau "geen straf zonder schuld" atau "nulla poena sine culpa". Ini merupakan salah satu asas yang dianut dalam hukum pidana indonesia. Asas ini menunjukkan bahwa seseorang hanya dapat dihukum atas perbuatannya apabila pada dirinya terdapat kesalahan (Belanda; schuld). Dengan kata lain, untuk dapat dihukumnya seseorang maka selain ia harus telah melakukan perbuatan yang diancam pidana (Belanda; strafbaar handeling) juga padanya terdapat sikap batin yang salah. Hal yang berkenaan dengan sikap batin yang salah ini dinamakan juga pertanggung jawaban pidana (inggris; criminal liability).
 
Kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban. Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan, lazim disebut sebagai kemampuan bertanggung jawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf.

Dengan demikian, untuk menentukan adanya kesalahan, dalam pidana subjek hukum harus memenuhi beberapa unsur, antara lain: 1) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, 2) Perbuatannya tersebut berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); 3) Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.

Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, dimana unsur yang satu bergantung pada unsur yang lain. (Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung). Dalam (http://www.gresnews.com/berita/tips/1447318-pengertian-kesalahan-menurut-hukum-pidana/0/#sthash.RBZOZzjk.dpuf).
 
Jika anda memerlukan Jasa Advokat atau pengacara bisa kontak kami via WA :
0813.17.906.136
Share:

Pidana Tambahan didalam UU Tipikor

Pidana Tambahan di dalam KUHP diatur di dalam Pasal 10.b yaitu terdiri dari :

1.    Pencabutan hak-hak tertentu.
2.    perampasan barang-barang tertentu.
3.    Pengumuman putusan hakim.
 
Karena UU Tipikor merupakan UU khusus maka berlaku "azas lex specialis derogat lex generalis", maka hakim dalam memutuskan adanya Pidana Tambahan hendaknyalah mengacu kepada Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999.

Pidana tambahan berkenaan dengan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan di dalam Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor yaitu sebagai berikut :


(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai
pidana tambahan adalah :

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Jika anda membutuhkan jasa pengacara Tipikor bisa kontak kami di SMS/WA/LINE : 0813.17.906.136
Share:

Tafsir Pasal 351 KUHP

Pasal 351
(1).Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500.
(2).Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
(3).Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4).Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
(5).Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat di hukum.




Tafsir Pasal 351 KUHP menurut Yurisprudensi :

Penganiayaan (mishandeling) :

-  Sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan)
Contoh : Misalnya mendorong terjun kekali sehingga basah, menyuruh orang berdiri diterik matahari    dan lain sebagainya.

-  Menimbulkan rasa sakit
Contoh : Menyubit, menempeleng, memukul.

-  Menimbulkan luka
Contoh : Mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dll.

-  Dan menurut ayat (4) adalah  sengaja merusak kesehatan orang








Penganiayaan menurut Pasal 351 adalah bentuk "Penganiayaan Biasa’’.

Sedangkan jika menimbulkan luka berat maka dapat dikenakan Pidana dengan Pasal 354 (penganiayaan Berat).

Sedangkan jika menimbulkan kematian dapat dipidana dengan Pasal 388 (pembunuhan)

Jika supir lalai mengendarai kendaraan dan menyebabkan kematian orang lain maka dapat dikenakan Pasal 359  (karena salahnya menyebabkan matinya orang lain)


Adapun bunyi Pasal 359 KUHP menyatakan: “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”

Menurut R. Soesilo (1996), kematian dalam konteks Pasal 359 KUHP tidak dimaksudkan sama sekali oleh pelaku. Kematian tersebut hanya merupakan akibat kurang hati-hati atau lalainya terdakwa (delik culpa). Jika kematian itu dikehendaki terdakwa, maka pasal yang pas adalah 338 atau 340 KUHP.





Percobaan malakukan "Penganiayaan biasa’’ ini tidak dapat dihukum, demikian pula percobaan melakukan "Penganiayaan ringan’’ (pasal 352). Akan tetapi percobaan pada penganiayaan tersebut dalam pasal 353,354,355 dihukum
Share:

Jasa Pengacara Artis

Jika anda memerlukan jasa pengacara artis, kami bisa membantu anda untuk menjadi pengacara artis. Pengacara kami telah banyak membantu artis-artis terkenal Ibu Kota untuk menyelesaikan berbagai kasus yang dihadapinya. Jika anda membutuhkan jasa pengacara artis jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi kami segera di SMS/WA/LINE : 0813.17.906.136
Share:

Definisi Saksi dalam KUHAP

Di dalam Pasal 1 angka 26 di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana saksi didefinisikan sebagai :
"Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan  penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang  suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri".

Kemudian didalam Pasal 1 angka 27 disebutkan pula :
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.

Lalu apakah seorang saksi yang tidak mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri dapat disebut sebagai saksi ?

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 atas uji materi KUHAP. menyebutkan bahwa definisi saksi juga termasuk orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, tetapi juga setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa.

Mahkamah Konstitusi menilai pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP. Sebab, arti penting saksi bukan terletak pada apa yang dilihat, didengar, atau dialami sendiri peristiwa pidana, melainkan relevansi kesaksiannya.

Definisi saksi yang menguntungkan yang diatur Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP tidak harus dikualifikasikan sebagai orang yang melihat, mendengar, mengalami sendiri suatu peristiwa pidana seperti diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP.

Didalam Pasal 65 KUHAP disebutkan pula bahwa :

"Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang  memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya".

Kemudian di Pasal 116 ayat (3) disebutkan bahwa :

Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.

Kemudian di Pasal 116 ayat (4) disebutkan bahwa :

Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.

Sehingga, Seorang tersangka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, dapat menghadirkan saksi yang dapat menguntungkan dirinya, walaupun saksi tersebut tidak melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu tindak pidana, namun seorang penyidik wajib melihat relevansi kesaksiannya.

Sebagai contoh, misalkan jika saksi ternyata mendengar dan melihat suatu kejadian pidana tidak secara langsung namun melalui rekaman suara atau rekaman gambar, selama rekaman suara dan gambar tersebut dapat dibuktikan ternyata otentik maka saksi yang tidak mendengar secara langsung dan melihat dan mengalami secara langsung tersebut, maka dapat dikualifikasikan sebagai saksi.

Begitu juga seorang saksi yang membuat sebuah kebijakan, namun saksi tersebut tidak melihat, mendengar dan mengalami suatu dugaan tindak pidana maka dapat dihadirkan sebagai saksi.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, maka definisi saksi bukan hanya saksi fakta namun saksi alibi pun dapat diperdengarkan kesaksiannya dalam proses penyidikan dan persidangan.

Dalam Putusannya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelfa mengatakan bahwa :

Menegasikan hak tersangka/terdakwa untuk mengajukan saksi/ahli yang menguntungkan dalam tahap penyidikan dan hanya memanggil saksi yang menguntungkan di proses persidangan saja merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 angka (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Anda membutuhkan Pengacara ? Kontak kami di SMS/WA/LINE : 0813.17.906.136



Share:

Dua Jenis Delik Aduan

Menurut R. Soesilo Delik aduan di dalam Buku (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 87) itu dibagi kedalam dua jenis yaitu :


a.    Delik aduan absolut, adalah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.
Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284 KUHP) yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan penuntutan.
b.    Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367 KUHP (Pencurian dalam keluarga), lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah. Misalnya, seorang bapak yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362 KUHP) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus berbunyi: “,,saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.
Untuk delik aduan, pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia. Atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia. Dan orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
Share:

Jasa Pengacara di Bidang Korupsi

Jika anda terkena kasus korupsi, kami bisa membantu untuk mempertahankan hak-hak anda agar anda bisa dengan adil diperlakukan. Segera hubungi kami, kami akan menghubungkan anda dengan Pengacara spesialis bidang korupsi. Biaya pendampingan yang kami berikan kami berikan dengan seoptimal dan semaksimal mungkin untuk memberikan jalan keluar dan putusan yang seadil-adilnya bagi anda. Segera hubungi jasa pengacara korupsi kami di SMS/WA/LINE : 0813.17.906.136
Share:

Kontak Kami :

Email : info@konsultan-hukum.com dan konsultasihukum24jam@gmail.com

Konsultan Kekayaan Intelektual

IPLC Law Firm

Legal Trust

Popular Posts

Recent Posts