Advokat, Konsultan Hukum, Konsultan HKI, Kurator dan Pengurus WA : 0813.17.906.136

Makalah Kejahatan Cyber Crime Kasus Pembobolan Kartu Kredit



 Makalah Kejahatan Cyber Crime Kasus Pembobolan Kartu Kredit


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dengan semakin canggihnya teknologi informasi, maka semakin banyak juga kejahatan yang terjadi melalui media siber. Menurut data dari Ditreskrimsus Polda Metro Jaya terdapat 537 kasus kejahatan siber (cyber crime) pada tahun 2016. Kejahatan tersebut antara lain kasus penjualan anak, protistusi dan kejahatan lainnya.
Dalam upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan Cyber Crime ini, POLDA Metro Jaya melakukan patroli siber untuk mencegah kejahatan di dunia maya. Khususnya yang melibatkan anak-anak. (Republika, 3 Juni 2016).[1]
Salah satu kejahatan dalam dunia siber adalah kasus pembobolan kartu kredit, untuk melakukan penelusuran dalam kasus pembobolan kartu kredit ini terkadang Polisi sendiri sangat kesulitan karena sebagaimana dikatakan oleh Kepala Unit Perbankan Direktorat Tindak Pidana Khusus Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisaris Besar Djoko Purbohadijoyo mengatakan Indonesia saat ini sangat minim regulasi untuk mengantisipasi kejahatan seperti ini karena menurutnya adalah dalam upaya untuk menangkap pelaku pembobolan terutama orang asing adalah karena berkaitan dengan kedaulatan negara, walaupun ada kerja sama antar kepolisan. Tapi tetap harus meminta izin jika ingin memproses penjahat di negara lain [2]
Berdasarkan data peringkat pembobolan kartu kredit di Indonesia masih berada pada posisi kedua terendah dibandingkan negara lain di wilayah Asia Pasifik. Sedangkan berdasarkan data Visa, peringkat fraud Indonesia berada pada posisi ketiga terendah dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara.
Data terakhir Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter mencatat, pada bulan Mei 2013 saja, tercatat telah terjadi 1.009 kasus pembobolan (fraud) yang dilaporkan dengan nilai kerugian mencapai Rp 2,37 miliar.[3]

1.1 Tujuan

Adapun tujuan dari Makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap kejaharan siber di bidang pembajakan kartu kredit.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kejahatan Siber

Andi Hamzah dalam bukunya “Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer” (1989) mengartikan cybercrime sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal.

Forester dan Morrison mendefinisikan kejahatan komputer sebagai: aksi kriminal dimana komputer digunakan sebagai senjata utama.

Girasa (2002) mendefinisikan cybercrime sebagai : aksi kejahatan yang menggunakan teknologi komputer sebagai komponen utama.

Tavani (2000) memberikan definisi cybercrime yang lebih menarik, yaitu: kejahatan dimana tindakan kriminal hanya bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi cyber dan terjadi di dunia cyber.

2.2 Contoh Kasus Pembobolan Kartu Kredit

Polda Metro Jaya telah berhasil menangkap empat pelaku pembobolan kartu kredit beromset miliaran rupiah, pada Jumat 20 Juni 2016, bertempat di kantor PT Indosat Ooredo, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Para pelaku sudah melakukan aksi tersebut sejak tahun 2014 dengan jumlah korban mencapai ribuan orang, menurut keterangan Penyidik Unit IV Subdit IV Cyber Crime Ditreskrimsus.
Menurut data yang diperoleh terdapat setidaknya lebih dari 1.600 orang korban dan kerugian sampai dengan 5 miliar rupiah.
Modus yang dilakukan oleh para tersangka, yaitu GS, A, AH dan PSS dengan melakukan pemalsuan identitas KTP untuk mengganti nomor ponsel yang terdaftar di M-Banking para korban, sehingga bisa melakukan transaksi dan membuat kartu kredit dengan data palsu.
Tersangka PSS ditangkap pertama kali di kantor provider saat berniat untuk mengubah nomor ponsel korban.
Dalam kejahatan pembobolan kartu kredit ini terkadang melibatkan orang dalam sebagaimana salah satu pelaku adalah bekerja menjadi marketing bank. Oknum marketing Bank inilah yang kemudian mencuri informasi nasabah untuk melakukan aksi pembobolan kartu kredit. Pihak marketing bank ini mendapatkan data-data nasabah dari usahanya melakukan penawaran di pusat-pusat perbelanjaan.
Dari tangan para pelaku, polisi mendapatkan barang bukti berupa dua unit laptop, 16 telepon seluler, tujuh KTP palsu, dua foto kopi KTP palsu, dan lima kartu telepon seluler. Polisi juga menyita sejumlah kartu ATM dari berbagai bank.

2.3 Tuntutan Pidana Pembobolan Kartu Kredit

Berdasarkan informasi, para pelaku pembobolan kartu keredit tersebut dikenakan pasal berlapis antara lain, Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dengan ancaman penjara enam tahun.
Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) mengatakan bahwa yang diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya.[4]
Selain itu, pelaku juga diancam melanggar Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yakni Pasal 3, 4, dan 5.
Pasal 3 Undang-undang tersebut berisi ancaman penjara 20 tahun dengan denda Rp10 miliar.
Sementara Pasal 4, berisi ancaman penjara 20 tahun dengan denda Rp5 miliar. Sedangkan, Pasal 5 undang-undang itu berisi ancaman penjata 5 tahun dengan denda Rp1 miliar.[5]
Jika melihat kasus diatas, kejahatan pembobolan kartu kredit bisa juga dikenakan Pasal yang terdapat dalam UU No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yaitu Pasal 30 ayat 1, Pasal 36, Pasal 46 ayat 1 dan Pasal 51 ayat 2.[6]
Adapun bunyi dari Pasal 30 ayat 1 UU ITE adalah sebagai berikut :
“Setiap  Orang  dengan  sengaja  dan  tanpa  hak  atau  melawan  hukum  mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun”.
Pasal 36 UU ITE :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  27  sampai  dengan  Pasal  34  yang  mengakibatkan kerugian bagi Orang lain”.
Pasal 46 ayat 1 UU ITE :
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Pasal 51 ayat 2 UU ITE :

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.

Adapun bunyi dari Pasal 35 UU ITE adalah sebagai berikut :

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”.



BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Tindak pidana pembobolan kartu kredit biasanya akan berkaitan dengan pemalsuan dokumen seperti memalsukan KTP serta tidak kejahatan lainnya seperti tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu maka pelaku tindak pidana pembobolan kartu kredit biasanya akan dikenakan Pasal berlapis selain dari Pasal di dalam Undang-Undang ITE.

3.2 SARAN

Dalam memberikan tuntutan Pidana Kejahatan Siber Pembobolan kartu kredit, hendaknya Jaksa memberikan tuntutan pula dengan menggunakan Pasal yang ada di dalam Undang-Undang ITE.


DAFTAR PUSTAKA
Cyber Crime Pembobolan Kartu Kredit dalam http://etikaprofesiteknologiinformasi.blogspot.co.id/p/blog-page_6019.html Diakses pada Jumat, 15 Juli 2016 Pukul 09.11 WIB.

Edan! Pembobol Kartu Kredit Ini Beromzet Miliaran Rupiah diakses dari http://www.arah.com/article/5638/edan-pembobol-kartu-kredit-ini-beromzet-miliaran-rupiah.html http://www.merdeka.com/uang/kasus-kasus-pembobolan-kartu-kredit-yang-menggemparkan.html pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 10.16 WIB

Kasus-kasus pembobolan kartu kredit yang menggemparkan diakses dari http://www.merdeka.com/uang/kasus-kasus-pembobolan-kartu-kredit-yang-menggemparkan.html pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 9.37 WIB
Sudah Ada 537 Kasus Kejahatan Siber Tahun Ini diakses dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/06/03/o872op284-sudah-ada-537-kasus-kejahatan-siber-tahun-ini pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 9.15 WIB
Unsur Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54340fa96fb6c/unsur-pidana-dan-bentuk-pemalsuan-dokumen pada tanggal 15 Juli 2016 pukul 9.27 WIB




[1] Sudah Ada 537 Kasus Kejahatan Siber Tahun Ini diakses dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/06/03/o872op284-sudah-ada-537-kasus-kejahatan-siber-tahun-ini pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 9.15 WIB

[2] Kasus-kasus pembobolan kartu kredit yang menggemparkan diakses dari http://www.merdeka.com/uang/kasus-kasus-pembobolan-kartu-kredit-yang-menggemparkan.html pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 9.37 WIB

[3] Op. cit
[4] Unsur Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54340fa96fb6c/unsur-pidana-dan-bentuk-pemalsuan-dokumen pada tanggal 15 Juli 2016 pukul 9.27 WIB
[6] Cyber Crime Pembobolan Kartu Kredit dalam http://etikaprofesiteknologiinformasi.blogspot.co.id/p/blog-page_6019.html Diakses pada Jumat, 15 Juli 2016 Pukul 09.11 WIB.
Share:

Ketentuan Overmacht dalam Suatu Perikatan Perdata



Dalam membuat suatu perjanjian/perikatan biasanya kita wajib memasukan klausul di dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPer yang berbunyi :



Pasal 1244
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.

Pasal 1245
Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga. Bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Pengertian dari Overmacht :
Overmacht (keadaan memaksa) adalah suatu keadaan dimana debitor tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditor setelah di buatnya persetujuan, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya,dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat yang disebabkan adanya kejadiaan yang berbeda di luar kuasanya. Seperti gempa bumi, banjir dan kecelakaan. Dalam KUHPerdata Overmacht atau keadaan memaksa diatur dalam Buku III pasal 1244 dan 1245.

terdapat 3 unsur yang harus dipenuhi oleh overmacht yakni:
  1. Debitur tidak memenuhi prestasi walaupun telah berusaha secara patut
  2. Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur
  3. Faktor penyebab itu tidak dapat diduga oleh siapapun dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Share:

Apakah Fotocopy Dokumen bisa menjadi alat Bukti di Pengadilan ?

Berdasarkan kepada Pasal 1888 KUH Perdata disebutkan mengenai pengaturan mengenai salinan/fotocopy dari sebuah surat/dokumen, yaitu :
 
“Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya
 
Dalam praktik, Mahkamah Agung juga telah memberikan penegasan atas bukti berupa fotocopy dari surat/dokumen, dengan kaidah hukum sebagai berikut:
 
“Surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti.” (Putusan MA No.: 3609 K/Pdt/1985)
 
Sesuai dengan pendapat dari Mahkamah Agung dalam Putusan MA No. 3609 K/Pdt/1985 tersebut, maka fotocopy dari sebuah surat/dokumen yang tidak pernah dapat ditunjukkan aslinya, tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat menurut Hukum Acara Perdata (Vide: Pasal 1888 KUH Perdata).
 
Jadi, dalam hal tidak dapat ditunjukkannya dokumen asli dari fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, saksi sebagai salah satu alat bukti dapat berfungsi untuk memberikan keterangan kepada hakim, bahwa benar pernah ada suatu kesepakatan yang dibuat secara bawah tangan oleh para pihak yang namanya tercantum dalam fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, untuk memperjanjikan suatu hal tertentu (Vide Pasal 1320 Jo. 1338 KUH Perdata).
 
Argumentasi mengenai hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam Putusannya No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998, yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut:
 
Fotocopy surat tanpa disertai surat/dokumen aslinya dan tanpa dikuatkan oleh Keterangan saksi dan alat bukti lainnya, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam Persidangan Pengadilan (Perdata)

 
Mengenai pertanyaan jumlah minimum saksi untuk membuktikan fotocopy perjanjian di bawah tangan, ada baiknya kita memperhatikan ketentuan Pasal 1905 KUH Perdata, yang berbunyi:
 
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya.”
 
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal tidak adanya bukti lain, selain saksi yang dapat diajukan oleh seseorang untuk menguatkan dalilnya, maka jumlah saksi yang harus diajukan orang tersebut adalah minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis).
 
Namun demikian, dalam praktik, ketentuan mengenai pembuktian dalam perkara perdata tersebut dapat berkembang dan bermanuver. Misalnya dalam hal keberadaan fotocopy dari perjanjian bawah tangan ini ternyata diakui dan tidak disangkal oleh pihak lawan, tentunya hal ini dapat dikualifisir sebagai pengakuan di muka hakim, yang merupakan bukti yang sempurna (Vide: Pasal 176 HIR), atau apakah ada persangkaan (kesimpulan) yang ditarik oleh hakim (Vide: Pasal 173 HIR) dari bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan. 

Sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51ab049c2a0d2/kekuatan-pembuktian-fotokopi-dokumen
Share:

Modal Dasar Untuk Mendirikan UMKM

Berdasarkan UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), modal minimal untuk mendirikan PT adalah Rp50 Juta. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas, modal dasar Perseroan Terbatas tetap minimal Rp50 Juta, tapi untuk UMKM modal dasar ditentukan berdasarkan kesepakatan para pendiri PT yang dituangkan dalam Akta Pendirian PT. (Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57221f10b40fd/catat-ini-kemudahan-ukm-dalam-paket-kebijakan-xii)

Share:

Batasan Antara Wanprestasi dengan Penipuan






Berdasarkan Pasal 378 KUHP yang berbunyi : "Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun."


Unsur-Unsur Perbuatan Penipuan Adalah Sebagai Berikut :

1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)


Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian termasuk wanprestasi atau merupakan sebuah penipuan maka kita harus melihat pada point 3 diatas yaitu Batasan antara Wanprestasi dengan Penipuan yaitu terletak pada "tempus delicti" atau waktu ketika "perjanjian atau kontrak itu ditutup" atau perjanjian/kontrak ditandatangani. Apabila "setelah" (post facatum) kontrak ditutup/ditandatangani diketahui adanya tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu dari salah satu pihak, maka per buatan itu merupakan wanprestasi. Sebaliknya jika kontrak setelah ditutup/ditandatangani ternyata sebelumnya (ante factum) ada tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu itu telah disembunyikan oleh salah satu pihak maka perbuatan itu merupakan penipuan. (Sumber : Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan, Dr. Yahman, S.H, M.H Penerbit Kencana).



Berdasarkan rumusan tersebut, unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
Unsur poin 3 di atas yaitu mengenai upaya/cara adalah unsur utama untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penipuan.
Nah jika pada sebuah perjanjian utang-piutang atau jual-beli, penting diketahui apakah ada niat untuk melakukan kejahatan dengan menggunakan nama palsu, tipu daya atau rangkaian kebohongan, sebelum dibuatnya perjanjian. Jika sejak awal sudah ada pemalsuan nama maka perkara perjanjian hutang piutang atau jual-beli tersebut masuk ke ranah hukum pidana. Namun, jika terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dalam suatu perjanjian setelah dibuatnya perjanjian tersebut, maka hal itu merupakan wanprestasi.
- See more at: http://www.gresnews.com/berita/tips/31122-tips-alasan-kasus-hukum-perdata-berubah-menjadi-pidana/0/#sthash.Blas81ov.dpuf
Share:

Prosedur PK Perkara Pidana




  1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan pemidanaan, terpidana. atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, dan dapat dikuasakan kepada Penasihat Hukumnya.
  2. Permohonan Peninjauan Kembali diajukan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
  3. Permohonan Peninjauan Kembali tidak dibatasi jangka waktu.
  4. Petugas menerima berkas perkara pidana permohonan Peninjauan Kembali, lengkap dengan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut, dan memberikan tanda terima.
  5. Permohonan Peninjauan Kembali dari terpidana atau ahli warisnya atau Penasihat Hukumnya beserta alasan-alasannya, diterima oleh Panitera dan ditulis dalam suatu surat keterangan yang ditandatangani oleh Panitera dan pemohon.
  6. Dalam hal terpidana selaku pemohon Peninjauan Kembali kurang memahami hukum, Panitera wajib menanyakan dan mencatat alasan-alasan secara jelas dengan membuatkan Surat Permohonan Peninjauan Kembali.
  7. Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan Peninjauan Kembali, wajib memberitahukan permintaan permohonan Peninjauan Kembali tersebut kepada Penuntut Umum.
  8. Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan Peninjauan Kembali diterima Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan menunjuk Majelis Hakim yang tidak memeriksa perkara semula, untuk memeriksa dan memberikan pendapat apakah alasan permohonan Peninjauan Kembali telah sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
  9. Dalam pemeriksaan tersebut, terpidana atau ahli warisnya dapat didampingi oleh Penasehat Hukum dan Jaksa yang dalam hal ini bukan dalam kapasitasnya sebagai Penuntut Umum ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
  10. Dalam hal permohonan Peninjauan Kembali diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani pidananya, Hakim menerbitkan penetapan yang memerintahkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dimana terpidana menjalani pidana untuk menghadirkan terpidana ke persidangan Pengadilan Negeri.
  11. Panitera wajib membuat Berita Acara Pemeriksaan Peninjauan Kembali yang ditandatangani oleh Hakim, Jaksa, pemohon dan Panitera. Berdasarkan berita acara pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh Majelis Hakim dan Panitera.
  12. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan.
  13. Permohonan Peninjauan Kembali yang terpidananya berada di luar wilayah Pengadilan yang telah memutus dalam tingkat pertama:
    1. Diajukan kepada Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama;
    2. Hakim dari Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama dengan penetapan dapat meminta bantuan pemeriksaan, kepada Pengadilan Negeri tempat pemohon Peninjauan Kembali berada;
    3. Berita Acara pemeriksaan dikirim ke Pengadilan yang meminta bantuan pemeriksaan;
    4. Berita Acara Pendapat dibuat oleh Pengadilan yang telah memutus pada tingkat pertama;
  14. Dalam pemeriksaan persidangan dapat diajukan surat¬-surat dan saksi-saksi yang sebelumnya tidak pernah diajukan pada persidangan Pengadilan di tingkat pertama.
  15. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, setelah pemeriksaan persidangan selesai, Panitera harus segera mengirimkan berkas perkara tersebut ke Mahkamah Agung. Tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan Jaksa.
  16. Dalam hal suatu perkara yang dimintakan Peninjauan Kembali adalah putusan Pengadilan Banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan Berita Acara Pemeriksaan serta Berita Acara pendapat dan disampaikan kepada Pengadilan Banding yang bersangkutan.
  17. Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung yang telah disahkan oleh Panitera dikirimkan ke Mahkamah Agung.
  18. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali saja (pasal 268 ayat 3 KUHAP).


Sumber:
- Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 8-11.

Share:

Hukum Acara Perdata : Permohonan Gugatan

Permohonan Gugatan diatur di dalam pasal 118 HIR.

Kegiatan Penggugat :
1. Mendaftarkan surat gugatan ke pengadilan melalui Panitera.
2. Membayar biaya pendaftaran surat gugatan sekaligus persekot biaya perkara.

Kegiatan Kepaniteraan :
1. Menerima pendaftaran surat gugatan dari penggugat.
2. Menerima pendaftaran surat gugatan dari penggugat.
3. Membuat nomor pada surat gugatan.
4. Meneruskan surat gugatan kepada ketua pengadilan.

Kegiatan Ketua Pengadilan :
1. Memeriksa dan meneliti surat gugatan sesuai dengan kompetensinya (kewenangannya).
2. Membentuk majelis hakim yang akan mengadili perkara.
3. Meneruskan surat gugatan kepada hakim yang akan mengadili perkara.

Kegiatan Hakim :
1. Memeriksa dan meneliti surat gugatan sesuai dengan kompetensinya.
2. Menetapkan hari sidang pertama (HSP).
3. Meneruskan HSP kepada Panitera.

Kegiatan Panitera :
1. Membuat daftar perkara yang sudah, sedang dan akan diselenggarakan disebut dengan (ROLL).
2. Membuat surat panggilan sidang.
3. Meneruskan surat panggilan sidang kepada juru sita.

Kegiatan Juru Sita :
1. Membuat berita acara panggilan sidang disebut (RELASS).
2. Menyampaikan surat panggilan sidang kepada pigak (Penggugat + Tergugat).

Jika adan ingin berkonsultasi seputar proses gugat menggugat perkara perdata silahkan kontak kami.
Share:

Hak Buruh Sebelum Bekerja

Setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang belum bekerja (calon buruh) berhak untuk mendapatkan pendidikan dan peningkatan keterampilan yang dapat dipergunakan untuk bekerja. Selain itu, berhak untuk mendapatkan informasi secara terbuka mengenai lowongan pekerjaan.

Sumber : Hukum Perburuhan hal. 153. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia 2014. YLBHI.
Share:

Penjelasan Pasal 372 dan 374 tentang Penggelapan


Pasal 372 KUHP:

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Pasal 374 KUHP:


Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Mengenai Pasal 372 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) mengatakan bahwa penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Bedanya ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya”, sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tindak pidana tidak dengan jalan kejahatan.

Sedangkan mengenai Pasal 374 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa ini adalah penggelapan dengan pemberatan. Pemberatan-pemberatan itu adalah:

1. Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking), misalnya perhubungan antara majikan dengan buruh;

2. Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya, misalnya tukang binatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya;

3. Karena mendapat upah uang (bukan upah yang berupa barang), misalnya pekerja stasiun membawakan barang orang penumpang dengan upah uang, barang itu digelapkannya.

(Sumber : www.hukumonline.com)

Share:

Kontak Kami :

Email : info@konsultan-hukum.com dan konsultasihukum24jam@gmail.com

Konsultan Kekayaan Intelektual

IPLC Law Firm

Legal Trust

Popular Posts

Recent Posts